Rabu, 10 Juni 2015

membaca sastra, prosa, puisi, drama

LAPORAN BACAAN


 
 
Mata Kuliah : Sejarah Sastra Indonesia
Dosen Pembimbing : Muhibbul Fahmi. S.Pd., M.Pd



Nama  : Dila Putri Indrias Sari
Npm    : 14020211013
Kelas   : A-B
Prodi   : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Semester : Dua (2)






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (YPM) BANGKO KAB. MERANGIN
TAHUN 2015


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan bacaan buku “Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi) Melani Budiata, dkk”, dengan menggunkan tiga buku pembanding “Pengkajian Puisi (Rachmat Djoko Pradopo), “Prosedur Analisi Fiksi (Drs. Muhardi, M.S. dan Drs. Hasanuddin WS), dan  “Drama (Drs. Hasanuddin WS., M. Hum). Penulisan laporan bacaan ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dosen yang mengapu mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia.
Dalam Penulisan laporan, penulis merasa masih banyak kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan laporan bacaan. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan bacaan ini, khususnya kepada Bapak Muhibbil Fahmi, S.Pd,. M.Pd  sebagai dosen pengampu pada mata kuliah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………..1
BAB 2 LAPORAN BAGIAN BUKU
A.    Sastra
1.      Pengertian Sastra…………………………………………………………2
2.      Sastra : Antara Kovensi Dan Inovasi…………………………………….2
3.      Fungsi Sastra……………………………………………………………..3
4.      Produksi Dan Reproduksi Sastra………………………………………....4
B.     Puisi
1.      Puisi………………………………………………………………………5
2.      Unsur-Unsur Membangun Puisi………………………………………….6
3.      Aneka Ragam Puisi……………………………………………………….8
C.     Prosa
1.      Struktur Narasi…………………………………………………………...10
2.      Unsur-Unsur Prosa……………………………………………………….10
3.      Struktur Penceritaan/Penataan……………………………………………10
D.    Hakikat Drama
1.      Sejarah Ringkas…………………………………………………………..11
2.      Krakteristik, Elemen, Drama, dan Sasaran Drama……………………….12
3.      Pengkatagorian Drama……………………………………………………13

PEMBANDING 1…………………………………………………………………...14
PEMBANDING 2…………………………………………………………………...18
PEMBANDING 3…………………………………………………………………...22

KOMENTAR……………………………………………………………………..…26
PENUTUP………………………………………………………………………..….29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..…...31



BAB 1
PENDAHULUAN

Buku utama  “Membaca Sastra (Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi)”

Nama Pengarang : Melani Budiata, Ida Sundari Husen, Manneka Budiman, Ibnu Wahyudi
Penerbit : Indonesia Tera Anggota IKAPI
Tahun Terbit : 2008
Jumalah Halaman : x + 256
Ukuran Buku : 15 x 21 cm
Cetakan Pertama : September 2002
Cetakan Kedua : September 2003
Cetakan Ketiga : Mei 2006
Cetakan Keempat : September 2008
Penyunting : Manneka Budiman, Ibnu Wahyudi, I Made Suparta
ISBN : 978-775-068-7
Perancang Sampul : Andre




BAB 2
LAPORAN BAGIAN BUKU
Membaca sastra ( Penagatar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi), Melani Budiata, dkk.
A.    Sastra
1.      Pengertian Sastra
Penulis menjelakan beberapa kritikus mengajukan batasan yang berbeda-beda untuk menjwab pernyataan ini, Danziger dan Johnson (1961) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa seperti mediumnya. Daiches (1964)  mengacu pada Aritoteles yang melihat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis penegetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara yang lain”, yakni suatu cara yang memberikan kenikmatan yang unik dan penegetahuan yang memperkaya wawasan pembacanya.
Dalam kegiatan kelas kita penulis dapat membandingkan teks sastra dan teks yang beragam ilmiah. Membandingkan ungkapan-ungkapan yang bersifat denotatife, yang memberikan arti dasar suatu kata, dan yang bersifat konotatif, yang memberikan nuansa khusus.
Pada bab ini bahasa yang digunakan penulis dalam artikel di media massa menekankan hal-hal yang bersifat teknis, seperti teknis, seperti data, fakta, sumber primer, bukti, dan contoh. Sedangkan cuplikan cerpen  menggambarkan nuansa-nuansa perasaan dan pikiran yang tidak bisa  diwakili oleh angka dan static.

2.      Sastra : Antara Kovensi dan Inovasi
Penulis menjelaskan bahwa sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif selalu mengubah batasan-batasan yang sudah di terima masyarakat. Dinamika sastra juga berkaitan dengan perkembangan masyarakat dan terkait dengan konteks budaya.
Aturan dan konvensi bukan hanya berubah dari zaman ke zaman, tetapi juga berkaitan dengan konteks budaya pada masanya. Pantun disukai orang melayu karena merupakan bagian penting dari tradisi dan ritual yang ada, seperti ritual perkawinan yang ada.  Sastsra  yang bersifat “ menghibur” belaka di anggap maksiat.
Secara umum penulis mengatakan kovensi yang paling dasar adalah penggolonhgan jenis-jenis teks sastra metenjadi tiga , yakni genre prosa, puisi, drama. Kovensi yang berlaku di masyarakat tertentu pada waktu tertentu menemukan klasif semacam ini. Di Amerika, “ esai” sering sekali dimasukan sebagai teks sastra di bawah genre prosa. Dalam masyarakat yang menegenal perubahan dari masyarakat tradisional dan modern, masyarakat yang menggunakan bahasa daerah dan bahasa modern , masih ada lagi penegelompokan  sasstra tradisonal dan sastra modern, sastra liasan dan sastra tulis,  sastra daerah dan sastra nasional.

3.      Fungsi Sastra
Pada fungsi sastra ini penulis memberikan pertanya mengapa karya sastra diciptakan sepanjang sejarah kehidupan manusia? Penulis pun menjawabannya, karena karya sastra diperlukan oleh manusia. Seorang pemikir Romawi, Horatius mengemukakan istilah dulce et utile, dalam tulisanya berjudul Ars Poitece. Artinya, sastra mempunyai fungsi ganda , yakni menghibur dan sekaligus bermanfaat bagi pembaca.
Bagi penulis sastra menghibur dengan cara menyajikan keindahan. Memberikan makna terhadap kehidupan (kematian, kesengsaraan, maupun kegembiraan), atau memberikan pelepasan ke dunia imajinasi.
Dan juga Karya sastra bagi penulis menjadi sasaran untuk menyampaikan pesan tentang kebenaran, tentang apa yang baik dan buruknya. Ada pesan yang sangat jelas disampaikan, ada pula yang bersifat tersirat secara halus. Karya sastra juga dapat dipakai untuk menggambarkan apa yang di tangkap sang pengarang tentang kehidupan di sekitarnya. Disini karya sastra dapat diiabratkan sebagai “potret” atau “sketsa” kehidupan. Tetapi “potret” itu tentu berbeda dengan cermin, karena sebagai kereasi manusia, di dalam sastra terdapat pendapat dan pandangan penulisnya, darimana dan bagaimana ia melihat kehidupan tersebut.contohnya adalah apa yang kita sebut dengan stereotip tentang ibu tiri, tentang kelompok etnis tertentu, dan lain-lainnya.
Penulis Perlu memperhatikan bahwa fungsi sastra berubah dari zaman ke zaman, sesuai kondisi dan kepentinhgan masyarakat pendukungnya. Sastra lisan mempunyai fungsi social yang jelas dalam masyrakat tradisional sebagai diri ritual, seperti ritual berbalas pantun untuk mengantar pengantin  di berbagai kelompok adat di Indonesia, atau sebagai mantra penolak hujan dan penolak balak. Di inggris genre drama muncul sebagai suatu bentuk dramatisasi cerita dari Injil atau Kisah orang-orang suci.

4.      Produksi dan Reproduksi Sastra
Pembahasan ini penulis menjelskan karya sastra tidak diciptakan dalam sesuatu yang hampa, melainkan dalam suatu konteks budaya dan masyarakat tertentu. Proses penciptaan (produksi karya sastra) serta penyebaran dan pengadaannya (reproduksi) sastra melibatkan sebagai macam pihak. Yang pertama adalah penciptaan karya sastra, yakni pengarang yang berdasarkan kreatifitas, Imajinasi, dan kerjanya menuliskan atau menciptakan suatu karya.
Penulis mengatakan Pada zaman sebelum ada percetakan, karya sastra tulis hanya berbentuk manuskrip. Manuskrip biasanya ditilis langsung oleh pengarangnya. Di bali, karya sastra ditulis di atas lotar, dan orang pada masa kini menyalinnya kembali tulisan pada kertas biasa, mengetik, atau mencetaknya.
Pada zaman sesudah publikasi karya secara masal, dalam jumlah banyak, muncul suatu lembaga yang disebut penerbit.lembaga-lembaga yang ikut serta menyebarkan karya sastra seperti komunikasi sastra, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga yang mengayomi kegiaatan sastra dalam masyarakat.
Semua pihak yang terkait dalam reprodukdi dan produksi karya sastra sangat menentukan perkembangan kesusatraan di tempat tertentu dan zaman tertentu.  Pihak-pihak tersebut juga dapat membuat hambatan-hambatan untuk mengekang atau menyensor karya sastra yang dianggap kurang bagus, tidak sesuai dengan norma dan nilai yang dianut massyarakat tertentu, dan oleh karenanya membahayakan. Karena sifat karya sastra yanhg sangat terbuka untuk interpretasi, khalayak pembaca dari berbagai kelompok, minsalnya yang mewakili adat istiadat  dan tradisi tertentu, agama atau kelompok tertentu, bias memiliki pandangan yang berebedabeda tenetang karya sastsra tertentu, dan menyiapi kjarya sastra tersebut sesuai dengan pandangan dan gagasan.
                                
B.     PUISI
1.      Puisi
Penulis menjelaskan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak secara langung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Apa bila kita menggunakan ungkapan “mata keranjang”, untuk menyebut seseorang yang mudah terpikat pada perempuan-perempuan yang di lihatnya, sesungguhnya kita sedang menggunakan ekspresi puitis. “mata keranjang” adalah sebuah gaya bahasa yang menggunakan sebuah ungkapan untuk mengatakan sesuatau yang lain.
Penulis memberikan tujuanya untuk memperjelas maksud yang di sampaikan. Sebuah lirik lagu popular juga dapat berbau puitis karena pilihan katanya yang khas. Contohnya lirik lagu contohnya ‘kupu-kupu kertas’ karya Ebiet G Ade dan iklan sebuah produk di televise atau majalah juga kerap sarat dengan ungkapan-ungkapan puitis. Contohnya pada iklan rokok A Mild , karena seloganya yang berbunyi: How low can you go?  Ungkapan ini menjadi menilai puitis karena persamaan bunyi/-ow di akhiri kata how,low, dan go. Serta karena pemilihan kata-kata yang bersuku tungggal.
Akspresi puitis lazim terdapat pada pula pada medium-medium verba lainya, misalnya surat cinta. Dan juga selogan-selogan propaganda politik juga kaya dengan perangkat puitis.
Penulis memberi contoh bahwa pada tahun 1950-an, misalnya beredar slogan yang berbunyi “Amerika kita serikat, Inggris kita inggris”, yang bernada anti imperialism barat. Bahwa kehidupan sehari-hari sudah tidak lagi dapat di lepaskan dari kesusastraan meskipun kegiatan bersastra tersebut di lakukan tanpa sadar, dan sekalipun kesusastraan itu tidak begitu mendapatkan tempat pada kehidupan masa kini yang di dominasi oleh materialisme dan konsumerisme. Dapat di cari pada contoh-contoh lingkungan sekitar,  ada pula puisi yang tidak memiliki unsur puitis yang kuat dan terkesan sebagai ujaran sehari-hari yang nonpuitis.



Contoh teks tidak puitis yangb telah di sajikan penulis :
Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur. Di dalam tidur ia bermimpi ada sikat gigi menggosok-gosok mulitnya supaya terbuka. Ketika ia bangun pagi hari sikat gigignya tinggal sepotong. Sepotong yang hilang itu agaknya tersesat di dalam mimpinya yang tidak bias kembali lagi. Dan ia berpendapat bahwa kejasian itu terlalu berlebih-lebihan.
Penulis menyimpulkan bahwa pada teks ini sama sekali tidak puitis dan nandanya seperti seseorang yang sedang bercerita sesuatau yang sepele, namun sesungguhnya ini adalah sajak yudistira ANM berjudul sajak “sakit gigi”, yang sengaja di susun kembali secara prosais.

2.      Unsur-Unsur Membangun Puisi
Unsure-unsir membangun puisi ini penulis mengatakan pada bab ini banyak teks berunsur puitis yang lazimnya dianggap sebagai puisi namum ternyata menampakkan unsure-unsur puitis yang cukup kaya. Akibatnya, semakin lama semakin sulit untuk menarik garis pemisah yang tegas antara teks puisi dan teks nonpuisi. Dari zaman ke zaman ada berbagai pandangan tentang pengertian pusis. Pandangan yang paling memberi tekanan pada unsure bahasa dalam puisi adalah yang berasal daria ahli-ahli linguistic modern yang meminati sastra. Mengungkapkan puisi menjadi khas  karena sebagai teks ia menarik perhatian pembaca kepada teks itu sendiri, dan bukan kepada pengarangnya, atau kenyataan yang diacunya, atau pembacanya.
Secara konvensional, sebuah puisi biasanya menggunakan beberapa atau salah satu unsure secra dominan untuk membangun makna. Gaya bahasa metafora dan simile. metafora pada dasarnya adalah sebuah kata atau ungkapan yang maknanya bersifat kiasan, dan bukan harfiah karena ia berfungsi menjelaskan sebuah konsep. Minsalnya dalam ungkapan “senyumnya semanis gula”, atau “ nusantara, tanah yang indah bagai permata” dll.
penulis menjelaskan Personifikasi  adalah gaya bahasa lain yang cukup popular dalam puisi, ada pula gaya bahasa metonimi , memiliki hubungan kedekatan dengan hal-hal yang diwakilinya, rima  juga kerap menjadi penanda kekhasan teks puisi, dan adakalanya bunyi-bunyi dan kata-kata tertentu diulang beberapa kali untuk menegaskan makna. Tentu saja semua perangkat pembangun puisi yang ada, bentuk adalah penenda yang sangat jelas.penulis memberikan Contohnya : Sitok Srengenge menyusun lirik-lirik bagi sajak “ karena bawah laut” ini :
Aku coba memandanag keluar jendela,
                        Gelap semata,
                                                Mataku
Diserbu hari-hari kemarin bersamamu
Aku mengingatnya bagi mimpi, namun lupa
                        Apakah mimpi memang penuh warna
Lupa
            Lelap
Luka
Lenyap
Seketika aku terjaga, tatkala orang-orang serentak menejrit
Sembari member serampak menarai
                                                Setelah berita : seorang presiden sakit,
                                                            Hampir mati
Bagi penulis ada juga puisi ditulis dengan gaya prosa dan tetap dengan mudah diterima sebagai sebuah puisi. Akhirnya pantun dicatat bahwa kovensi puisi selalu berubah dari masa di berbagai tempat yang berbeda. Tidak jarang sebuah puisi dapat doterima begitu sakja karena penulisnya adalah seorang penyair, atau karena teks tersebut memiliki unsur-unsur puitik. Dengan kata lain kita sedaang menghadapi sebuah  puisi ketika yang menjadi acuannya adalah teks itu sendiri, dan bukan pengarangnya, atau pembacanya, atau masyarakat dan zamannya.


3.      Aneka Ragam Puisi
Banyak orang meyakini bahwa bentuk “puisi” tertua adalah mantara yang merupakan bagian penting ritual-ritual masa lampau. Kekhasan mantra terletak pada pengulangan-pengulangan bunyi serta efek yang dihasilkan pada pendengar. Konon, matra punya fungsi magis, yakni mampu menyembuhkan penyakit, mengusir roh jahat atau bala, dan menghubungkan manusia dengan alam supranatural.
Di dalam mantra, bunyi lebih penting daripada ,makna. Itulah sebabnya mengapa mantra tidak membangun suatu makna yang utuh dan dapat dicerna, namun lebih mengutamakan pengulangan bunyi-bunyi tertentu.
Pada zaman pertengahan di Eropa, dan juga pada beberapa priode setelah zaman tersebut, puisi dinyanyikan oleh para troubadour (pelipur lara) serta penyair isstana. Di Indonesia tradisi serupa juga dijumpai, khususnya dalam tradisi kesusastraan Melayu. Dalam kesusatraan inggris bentuk seperti ini disebut dengan  heroic couplet dan lazim digumnakan pada priode Agustus, yang mengutamakan keteraturan dalam bentuk, penulis menyajinya sebagai berikut :
v  Segi Ungkapan
Puisi dapat di katagorikan dalam lirik  dan epic. Puisi lirik banyak mengeksplorasi subjektivitas dan individualitas aku lirik dalam sajak. Epic banyak menggunakan kisah dan lebih bergaya prosaic sambil tetap mempertahankan unsure-unsur puitik yang umumnya dijumpai dalam puisi, seperti rima, kesamaan jumlah ketukan, dll. Epic di sebut sajak naratif, isi pada umumnya tentang petualangan atau perjalanan seorang pahalawan atau tokoh, serta sebagai perbuatan luhur yang dilakukan.
v  Segi Bentuk
Secara garis besar dapat disebutkan adanya sajak-sajak yang bentuknya terikat, seperti sonata, kwatrin dan pantun , dll, serta sajak-sajak berbentuk bebas.  Sonata terdiri atas empatbelas lirik dengan pola rima tertentu, sedangkan kwatrin adalah sebait sajak yang terdiri atas empat larik dengan rima tertentu.
v  Segi Isi
Ada sajak yang berisi pujian-pujian untuk seorang tokoh atau pahlawan atau suatu peristiwa  besar. Sajak seperti itu disebut od. ada juga puisi yang bersifat semacam dukacita atau rasa sesal akan sesuatu yang sangat berharga atau dikasih namun yang kini telah hilang, kandungan puisi tersebut dengan elegy.
v  Lain-lain
Dalam tradisi kesusastraan Jawa Baru terdapat sebentuk persajakan yang disebut dengan macapat, yang lazim digunakan dalam penulisan babad, yaitu kisah sejarah atau kronikel Jawa. Di Amerika terdapat ragam puisiyang dikenal dengan puisi imajinasi yang terutama dapat terlihat dalam karya-karya Ezra Pound, dan pada amsa Puritan di Inggris abad ke-17 terdapat banyak puisi tipografis yang mencoba memvisualisasikan bentuk-bentuk sesuai tema puisi.


C.    PROSA
1.      Prosa : Struktur Narasi
Pada bagian prosa ini penulis telah mempelajari puisi dengan berbagai bentuk dan kekhasannya, kini saatnya anda mempelajari apa yang disebut postra narasi,  semua teks/ karya rekan yang tidak berbentuk dialog, yang isisnya dapar merupakan kisah sejarah atau sederetan peristiwa. Kelompok ini dapat dimasukan dalam roman atau novel, cerita pendek, dongeng, cacatan harian, (oto) biograf, anegot, lelucon, aroman dalam bentuk surat menyurat (epitoler), cerita pantastik maupun larastik.
2.      Unsure-Unsur  Prosa : Tokoh, Latar, Alur
Di dalam suatu karya narasi penulis mengtakan ada unsure-unsur penting dan unsure-unsur kurang penting atau tidak penting, baik yang menyangkut tokoh, latar tempat, latar waktu, dan peristiwa-peristiwa.
Penulis menjelaskan unsure-unsur yang tidak tau kurang penting diperlukan sebagai unsure pendukung, ilustrasi, diskripsi atau sekedar untuk memperpanjang (minsalnya, cerita detektif), agar cerita itu enak dibaca.
Ada jenis-jenis tokoh lain, yang terpenting adalah (protagonist), yakni tokoh yang diciptakan untuk mengibangi tokoh utama. Tokoh-tokoh yang fungsinya hanya melengkapi disebut tokoh bawahan.
Selain tokoh-tokoh, dalam suatu narasi terdapat latar,  yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Namun unsure juga sangat penting adalah lakuan atau peristiwa, yang membentuk kerangka cerita (alur utama).
3.      Struktur Penceritaan/Penuturan
Bagi penulis Penceritaan itu membawa kisah (narasi) di atas kertas. Ia tidak indentik dengan pengarang, yakni manuria yang benar-benar ada dalam kenyataan. Dalam kisahnya, penceritaan sering menyebut diri “aku” atau “saya” (penecritaa akuan), itu adalah tokoh dalam ceritanya, tetapi tidak selalu tokoh utama.
Dalam menyampaikan kisahnya, peneceritaan selalu mengambil posisi dan bercerita menurut suatu sudut pandang (point of view, point de vue).


D.    Hakikat Drama
Penulis menjelaskan sebuah karya drama itu nantinya dipentaskan atau hanya sekedar dibaca saja, pada intinya apa yang disebut dengan drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperhatikan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya semacam petunjuk pemanggungan  yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan oleh tokoh.

1.      Sejarah Ringkas
Penulis memberikan gambaran sejarah ringkas Sebagai istilah, “drama” dan “teater” ini datang atau kita pinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Pada awanya, di Yunani ini, baik “drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemuajaan terhadap para dewa. sedangkan istilah “teater”  yang berasal dari “theatron” yang juga merupakan turunan dari kata “theaomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’.  
“teater” juga dimaksutkan sebagai ‘gedung pertunjukan, panggung’, atau ‘publik, auditorium’ pada zaman Herodotud (490-424 SM), dan ‘karangan tonii’, sebagaimana disebut dalam kitab Perjanjian Lama.
Perkembangan drama, pada giliran kemudian, memperlihatkan keadaannya pergesaraan dari ritual keagamaan menuju kepada suatu oratoria, suat seni berbicara yang mempertimbangkan intonasi untuk mendapatkan efektifitas komunikasi.
Ada kecenderuman oratoria yang serat dengan music sebagai elemen utamanya, yang sehingga kini kita kenal dengan opera dan operet , dan dipihak lain muncul pula bentuk oratoria yang hanya mengandalkan pencakapan atau dialog sebagai elemen utama seperti yang kini kita kenal sebagai drama.



2.      Krakteristik, Eleman, Drama, dan Sasaran Drama
Penulis menjelaskan bahwa sangat banyak pementasan drama yang tidak didasarkan pada karya drama tertentu, melainkan berdasarkan novel, cerpen, puisi, atau bahkan lagu.
Dalam kaitannya penulis dengan niat yang mendasari penciptaan karya drama yang semikian itu maka apa yang disebut sebagai “cakapan” atau “dialog” tidak lain adalah suatu sasaran yang telah disediakan oleh penulisnya agar cerita atau kisah yang ditampilkan itu nantinya berujud suatu percakapan yang diajurkan oleh para pemain sehingga pendengaran atau penonton (audience) dapat mengukir alur cerita melalui apa yang mereka dengar.
Penulis memberikan petunjuk pemenggunaan ini tentu saja berfungsi untuk menuntut pembaca atau mereka yang mementaskan karya drama bersangkutan ke dalam suatu latar tertentu sesuai dengan apa yang diniatkan atau dikehendaki oleh penulisnya.
a.      Elemen Drama
Sebagaimana prosa, khususnya, pada karya drama pun dapat dijumpai pula adanya elemen-elemen tokoh, alur, dan kerangka situasi cerita yang saling menunjang satu dengan yang lainnya. Jika dalam prosa, tokoh-tokoh yang mencul itu cenderum berhenti dalam imajinasi atau identifikasi subjektif bembaca saja, tidaak demikian halnya yang terjadi pada drama megingat drama berkemugkinan untuk melaksanakan interpretasi tokoh-tokoh itu dalam bentuk konkret.
Suatu cerita akan meninggalkan kesan yang dalam dan bahkan mungkin “abadi” lantaran ponokohan dalam cerita itu begitu kuata dan menyakinkan dalam membangun alur cerita.
Dalam kaitan dengan drama, banyak ahli yang mengatakan bahwa drama yang baik harus selalu memperhatikan adanya konflik atau konflik-konflik seperti dikatakan Houdson, atau juga konfik dan oposisi seperti disebut Grebanier.
b.      Sasaran Dramatik
Penulis menyimpulkan agar tema dalam sebuah drama dapat lebih dipahami dan lebih “hidup” ketika dipentaskan, sejumlah penulis drama biasa memanfaatkan berbagai drama dramatic, yaitu dengan monolog (monologue), solilokui (soliloquy), dan simpangan (aside). Yang dimaksud monolog adalah sebuah komposisi yang tertulis-dalam naskah drama-atau yang berbentuk lisan yang menyajikan wacana satu orang pembicara.
Sementara itu apa yang disebut dengan “sililokui” sepintas lalu agak mirib dengan monolog dalam hal tampilannya seorang tokoh atau pemain. Sedangkan “sampingan”, biasanya memang lebih tampak pada sebuah pementasan, menggambarkan adanya ujaran yang ditujukan kepada para penonton.

3.      Pengkatagorian Drama
Disini bagi penilis yang melaporkan bacaan karya drama memang tepat dan cocok untuk dipentaskan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya sesuai untuk dibaca sendiri sebagaiman sebuah novel atau prosa lainnya.
Dengan demikian, dilihat dari kemungkinan, untukm dipentaskan, ada naskah-naskah yang dapat dan akan menarik perhatian orang jika dipentaskan, dan banyak pula yang tidak memberikan kemungkinan untuk dipentaskan. Banyak penulis yang menulis karya sastra dalam bentuk drama tetapi diniatkan untuk dipentaskan.
Pernulis mengelompokkan drama ke dalam karya sastra karena media yang dipergunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran pengarangnya adalah bahasa. Dengan mudah dapat dijumpai adanya karya drama yang sarat dan dialek, bahasa sehari-hari, atau bahasa formal.
Bahasa yang dipergunakan dalam sebuah bahasa drama tertentu bukan hanya bertolak dari keformalan maupun ketidakformalan bahasa, namun juga dari pemanfaatan sarana-sarana puitik maupun naratif. Pada karya drama yang berbentuk puisi, ada yang sangat ketat dengan kaidah-kaidah puitis, seperti terikat oleh aturan rima, atau yang tidak terikat dengan aturan-aturan semacam itu tetapi sarat dengan diksi atau pilihan kata yang konotatif dan sugestif. Kelima bentuk drama adalah tragedy, komedi,tregikomedi, melodrama, dan farce.


Buku Pembanding 1 : - Judul Buku Pengkajian Puisi
-          Pengarang RACHMAT DJOKO PRADOPO
-          Penerbit GAJAH MADA UNIVERSITY PRESS
-          Tahun Terbit 2012
-          Cetakan Ketigabelas
-          Kota Tenerbit Jogyakarta

Garis besar isi buku pengkajian puisi ini terdiri dari 2 bagian yang di dalamnya terdiri dari beberapa pembahasan yaitu:
BAGIAN I membahas tentang analisis strata norma puisi yang mencakup tentang pendahuluan, analisis puisi berdasarkan strata norma, bunyi, irama, kata, citraan, gaya bahasa dan sarana retorika, ketatabahasaan Chairil Anwar. Pada buku pradopo puisi dapat dikaji struktur dan  unsur-unsurnya, katena puisi adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan. Puisi juga dapat dikaji dari segi sejarahnya karena puisi selalu ditulis dan selalu dibaca oleh orang. Meskipun demikian orang tidak dapat memahami puisi dengan sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakana, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna.
Menurut altenbernd pisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum). Orang sering susah membedakan antara puisi dengan prosa jika hanya melihat bentuk visualnya saja. Perbedaan pokok antara puisi dengan prosa yaitu:
a.       Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis, kesatuan korespondensi puisi resminya bukan kesatuan sintaksis kesatuan akuitis.
b.      Di salam puisi korespondensi dari corak tertentu yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semua sampai akhir.
c.       Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Segala ulangan yang nampak di baris sajak yang nampak di baris lain dengan tujuan menambah kebagusan sajak dimaksud dengan korespondensi. Priodus merupakan pembentuk baris sajak menurut sistem, sedangkan prioditas itu adalah sistem susunan bagian baris sajak. Puisi sebagai karya seni puitis, kata puitis mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Kepuitisan dapat dicapai dengan bermacam-macam cara misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait, bunyi persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan orkestrasi.
Dalam analisis strata norma wellek dan warren berpendapat bahwa puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Sebuah karya sastra tidak hanya merupakan stu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Lapis norma tersebut yaitu:
1.      Lapis bunyi
2.      Lapis arti
3.      Latar, pelaku dan dunia pengarang
4.      Lapis dunia
5.      Lapis metafisis
Puisi di dalam puisi bersifat estetik, yang merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Setiap kata menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal itu disebut dengan gaya bahasa. Ada beberapa sajak yang banyak di pergunakan sebagai unsur kepuitisan dalam puisi indonesia adalah:
1.      Sajak akhir
2.      Sajak dalam
3.      Sajak tengah
4.      Asonansi
Irama dalam bahasa adalah pergantian turun naik, panjang pendek keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama dapat dibagi menjadi dua yaitu mwetum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantianya sudah tetap menurut pola tertentu. Sedangkan ritme adalah irama yang yang disebabkan pertentangan atau pergantian tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyair.
Kata adalah satuan arti yang menentukan struktur linguistik karya satra. Penyair dalam membuat karya sastra tidak hanya menggunakan bahasa indonesia, tetapi juga menggunakan bahasa asing. Dalm membuat karya penyair harus memperhatikan:
1.      kosa kata
2.      pemilihankata
3.      denotasi dan konotasi
4.      bahasa kiasan
5.      citraan (gambaran-gambaran angan)
6.      gaya bahasa dan sarana retorika
7.      faktor ketatabahasaan
Di dalam bahasa kiasan terdapat bebrapa jenis yaitu: perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos (epic simile), personifikasi, metonimi, senekdoki (synecdoche), dan allegori.
Bagian II membicarakan tentang analisis struktural dan semiotik. Pada bagian ini pembahasannya di awali dengan pendahuluan, analisis struktural, analisis semiotik, latar belakang dan sosial budaya satra. Sajak (karya satra) merupakan sebuah struktur, yaitu susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik, saling menentukan. Analisis sajak bertujuan memahami makna sajak. Menganalisis sajak adlah usaha untuk menangkap dan memberi makna kepada teks sajak. Karya sastra tidak dapat di pisahkan dari kerangka sosial budaya masyarat di tempat karya satra itu dituliskan. Aturan-aturan pantun yang ketat adalah:
tiap bait terdiri dari 4 baris pada umumnya.
1.        baris pertama dan kedua sampiran sedangkan yang ketiga dan keempat isi.
2.        Sajak akhirnya berpola abab.
3.        Tiapa baris terdiri atas dua periodus.
Memahami sajak merupakan usaha untuk menangkap makna ataupun usaha memberi makna sajak.prinsip intelektualitas merupakan salah satu sarana memberikan makna kepada sebuah teks sastra (sajak).
                           

LAPORAN BAGIAN BUKU
Bagian buku ini saya laporkan berdasarkan bagian-bagian yang ada pada buku Rachmat Djoko Pradopo. Buku ini banyak memberikan contoh-contoh puisi dari beberapa pengarang. Dalam buku pradopo ini pembahasan di bagia atas dua bagian. Pada bagian pertama membicarakan tentang analisis strata norma puisi, yang di dalamnya mencakup tentang: pendahuluan, analisis puisi berdasarkan strata norma, bunyi, irama, kata.
Sedangkan pada bagian kedua membicarakan tentang: analisis struktural dan semiotik yang di dalamnya terdapat beberapa bagian yaitu analisis struktural dan semiotik, analisis struktural dan semiotik sajak Amir Hamzah, analisis struktural dan semiotik sajak Chairil Anwar, ketidak langsungan ekspresipuisi, hubungan intelektual, latar belakang sosial-budaya. Dalam membaca buku ini harus memiliki tingkat pemahaman yang baik sehingga dapat mempermudah kita dalam memahami maksud dari penjabaran materinya.

 
 
Buku pembanding 2 : - Judul Buku Prosedur Analisis Fiksi
- Tahun Terbitm1992
- Pengarang Drs. Muhardi, M.S. dan Drs. Hasanuddin WS
- Tebal 118 Halaman
- Penerbit IKIP Padang Press
-  Cetakan Ke 1

FIKSI/PROSA
A.    Hakekat Fiksi
Kata fiksi berasal dari fiction yang berarti rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan, atau dapat juga berarti suatu pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran semata.
Fiksi merupakan salah satu genre sastra yang diciptakan dengan mengandalakan pemaparan tentang seseorang atau suatu peristiwa. Sebagai karya fiksi, pemaparan tentang seseorang atau peristiwa seakan-akan benar-benar terjadi atau seolah-olah pernah ada dalam kehidupan nyata. Padahal periwtiwa atau pun seseorang yang terdapat dalam kerya fikisi tersebut tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi dalam kehidupan nyata itu hanyalah sebuah pemikiran atau imajinasi pengarang saja. Untuk itu sebagai pembaca karya fiksi kita harus tahu bahwa cerita yang terdapat dalam karya tersebut ahanyalah rekaan dan tidak pernah terjadi.
Sumber penciptatan karya fiksi adalah berasal dari alam sekitar terutama dilingkungan pengarang, maka tidak berbeda dengan karya non fiksi karena karya non fiksi juga mengambil dari alam sekitar. Namun perbedaan muncul diantara keduannya yaitu pada proses penciptaannya.
Antara fiksi dan non fiksi prinsip penulisannya pun berbeda. Pada karya non fiksi prinsip penulisannya dilandasi dengan keyakinan pegarang bahwa semua itu adalah fakta dan apa adanya sesuai dengan kenyataan, sedangkan pada karya fiksi prinsip penulsnnya dilandasi oleh keyakian pengarang bahwa seandainya semuai ini adalah fakta dan merupakan peristiwa yang akan terjadi nantinya, jadi itu semua adalah imajinasi pengarang saja.
Karya sastra fiksi memiliki fungsi untuk mnyuburkan nilai-nilai praktis dan memperkaya nilai-nilai normative dan nilai-nilai estetis serta nilai-nilai praktis yang berhubungan dengan bagaimana caranya mewujudkan prilaku berdasarkan nilai normative dan estetis. Nilai normative dan esetis akan terdapat dalam karya fiksi apabila adanya penalaran dan pengolahan kematangan intelektual dan visi pikiran yang dilakukan oleh pengarang.
Karya sastra fiksi memiliki otonomi fiksi yaitu dia bebas dan dapat berdiri sendiri. Dimana otonomi fiksi ini cendrung memperlakukan karya sastra fiksi sebagai karya yang terlepas dari penciptaannya dan sumbernya.

B.     Unsur-Unsur Fiksi
Karya fiksi memiliki dua unsure yang membangun karya fiksi itu sendiri. Ada unsure yang membangun dari dalam fiksi itu sendiri dan ada juga unsure yang membangun dari luar fiksi tersebut.
Unsure yang membangun dari dalam karya fiksi tersebut dinamakn dengan unsure intrinsic sedangkan unsure yang membangun dari luar karya fiksi tersebut dinamakn dengan unsure ekstrinsik.
Didalam unsure intrinsic ada unsure utama dan unsure penunjang. Unsure utamanya adalah semua yang berhubungan dengan pemberian makna yang tertuang didalam bahasa, seperti penokohan, alur, dan latar yang akan menghasilkan suatu masalah yang disebut dengan tema dan amanat. Sedangkan unsure penunjangnya adalah segala upaya yang duguakan dalam memanfatkan bahasa, seperti gaya bahasa dan sudut pandang.
Unsure ekstrinsik juga mempunyai unsure utama dan unsure penunjang. Unsure utamanya yaitu pengarang, sedangkan unsure penunjangnya yaitu segala hal yang akan masuk melalui pengarang, seperti norma-norma, ideology, tatanilai, konvensi budaya, dan konvensi bahasa yang biasa terdapat dalam realitas objektif.




C.    Pendekatan Objektif Dalam Analisis Fiksi
Pendekatan analisi fiksi yaitu suatu usaha yang dilakukan seseorang dengan menggunakan logika rasional dan metode tertentu secara konsisiten terhadap unsure-unsur fiksi sehingga menemukan perumusan umum tentang keadan fiksi yang diselidiki. Analisis fiksi juga dilakukan dengan kemauan untuk seobjektif mungkin, dan tidak dilandasi dengan pandangan subjektif penganalisis.
Analisi fiksi bertujuan untuk menemukan keadaan unsure-unsur dan karakteristik hubungan antar unsure sehingga ditemukan suatu kesimpulan sebagai hasil penilaian terhadap fiksi tersebut. Analisis fiksi juga bertjuan ntuk memahami keunggulan sebuah karya fiksi, cirri-ciri husus sebuah fiksi yang membedakannya dengan karya fiksi lainnya.
Pada saat membaca karya fiksi pembaca cendrung hanyut dengan materi bacaan tersebut. Pembaca juga cendrung ikut trance dan hanyut dengan perkembangan permasalahan dan pergerakan tokoh fiksi.
Ada empat karakterisitik pendekatan analisis sastra yang disimpulkan oleh M.H. Abrams, yaitu: pendekatan objektif, pendekatan mimesis, pendekatan ekspresif, dan pendekatan pragmatis.

D.     Pentahapan Kerja Pendekatan Objektif
Tahapan prosedur fiksi meliputi serangkaian kegiatan, seperti pembacaan, penginventarisasian, pengidentifikasian, penginterpretasian, pembuktian, penyimpulan, dan pelaporan.
Dalam tahapan prosedur fiksi ini pembaca berhubungan dengan proses pengenalan unsure fiksi secara keseluruhan. Penginventarisasian berhubungan dengan proses pembingkaran unsure-unsur fiksi, pengidentifikasian berhubungan dengan proses pencarian hubungan, penginterpretasianmerupakan proses pemberian makana dan pengertian terhadap kaitan unsure berdasarkan logika, pembuktian merupakan proses pengujian makna dan pengertian sebagai hasil kesimpulan sementara, penyimpulan merupakan proses pengumpula ulang dari makna dan pengertian yang telah dikukuhkan atau dikuatkan, dan terakhir adalah pelaporan yaitu proses penulisan semua hasil kesimpulan berdasarkan kaedah penulisan karya ilmiah.
Unsure utama fiksi yang mesti diinventarisasi adalah alur, penokohan, dan latar. Inventarisasi sebagi tahap awal harus melakukan penginventarisasian tersebut disertai denga invntarisasai bagia sudut pandang yang amat berguna nantinya dalam proses penginterpretasian. Dimana proses tersebut dapat berlangsung secara bersamaan atau terpisah-pisah.
                                                   
E.     Sikap Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Orang Gila
Banyak masyarakat yang bersikap semena-mena terhadap orang gila. Padahal seharusnya kita tidak boleh bersikap kejam apa lagi semena-mena dengan mereka yang memiliki gangguan pada kejiwaannya. Seharusnya kita menyayangi bahkan membantu mereka agar mereka dapat sembuh dan terhindar dari hal-hal yang tidakk baik.
Sebagai masyarkat yang memilki keadaan yang normal kita seharusnya mengetahui mengapa orang tersebut gangguanya bisa terganggu bukannya malah menghinannya. Karena menghina bahkan melakukan hal-hal yangs semena-mena dapat menimbulkan efek samping bagi orang tersebut bahkan bagi diri kita sendiri.
Efek samping yang bisa terjadi yaitu membuat orang tersebut melakukan hal yang tidak baik seperti merusak bahkan bisa berbahaya bagi orang lain. Dan efek samping bagi kita adalah kita malah membuat orang tersebut semakin mengalmi gangguan pada kejiwaannya, dan kita pun malah mengajari ang tidak baik bagi orang lain terutama anak kecil. Jadi sebaai orang yang normal tidak boleh melakukan hal seperti itu.




Buku Pembanding 3 :  - DRAMA (Drs. Hasanuddin WS., M. Hum.)
-          Penerbit ANGKASA BANDUNG, JALAN MERDEKA NO. 6
-          Jumlah halaman (191 halaman)
-          Tebal Buku (2 cm), Cetakan Pertama(Tahun 1996), Ilustrasi Cover(Studio OK), Setting Layout( Penerbit Angkasa)
-          Dicetak Oleh ( jl. Kiaracondong 437. Bandung).

DRAMA

A.    Hakikat Drama
1.      Pengertian Drama
Bagi penulis penegertian drama sebagai suatu genre sastra darama mempunyai kekhususan sebanding dengan puisi ataupun genre fiksi. Drama tidak dapat di perlukan sebagaai puisi ketika mencoba mendekatinya, karena puisi penekananya sebagai suatu hasil cipta intuisi imajinasi penyairnya.
Dengan menyebutkan bahwa  drama adalah cerita atau tiruan prilaku manusia yang di pentaskan  tidaklah salah. Kata drama berasal dari kata yunani draumai yang bererti berbuat, berlaku, bertindak, berkreasi, dan sebagainya. jadi drama merupakan perbuatan atau tindakan, drama sebagai seni pertunjukan lebih mendominasi di banding genre sastranya.

2.      Karakteristik Drama dan Teater
Penulis membagi karakter drama karakteristik khusus, yaitu berdimensi sastra pada suatu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi yang lain. Drama memiliki dua dimensi pada dasarnya kedua dimensi itu saling berkaitan, dimensi yang satu mendukung dimensi yang lainya, dan demikian pula sebaliknya.
Marilah untuk sementara melihat dimensi yang ada pada karya drama itu secara terpisah, ini dilakukan untuk mendapatkan pemahaman bahwa masing-masing dimensi yang melekat pada drama di bangun dan di bentuk oleh unsur-unsur yang sama sekali berbeda. Dengan begitu, dapat di katakana suatu pemahaman bahwa unsur-unsur yang membangun drama pada suatu dimensi,  misalnya dimensi sastra, ternyata tidak mungkin melepaskan diri dari unsur-unsur yang membentuk dan membangun drama dari dimensi seni pertunjukan, demikian pula sebaliknya.
Disni penulis mengambil pendapat para ahli, menurut damono (1983:114) ada tiga unsur yang merupakan satu kesatuan menybabkan drama yang dapat di pertunjukkan, yaitu unsur naskah, unsur pementasan, dan unsur  penonton.

3.      Dalog Sebagai Sarana Primer dan Teater
Di dalam sebuah drama, penulis melaporkan buku bahwa dialog merupakan sarana primer. Maksudnya, dialog di dalam drama merupakan situasi utama. Drama-drama yang masih berlandaskan pada konfensi, unit-unit dialog di ucapakan masing-masing tokoh secara bergiliran, bergantian, dan tertib. Dialog-dialog pada jenis drama yang mengikuti dan mematuhi kovensi ini, disamping merupakan dialog dapat dengan mudah dicerna.
Pada jenis drama yang ditulis dengan tidak mematuhi konvensi yang umum, di dalamnya tidaklah ditemukan situasi dialog yang bergiliran, dan tertib.

B.     Penggarapan Bahasa
Di dalam sebuah darama, penulis mengatakan bahwa dialog merupakan situasi bahasa utama. Namun begitu, pengetahuan penggarapan bahasa disini bukanlah tentang dialog itu sendiri, melinkan sebagai mana bahasa di pergunakan pengarang sehingga terjadi situasi bahasa. Dan di gunakan menyangkut tentang gaya lebih mudah dimaksudkan penggarapan bahasa adalah biasa di sebut dengan style. Penggunaan bahasa harus relevan dan menunjang permasalahan-permasalahan yang hendak di kemukakan, harus merumuskan alur, penokohan, latar dan ruang, dan tentu saja premise teks darama. Masalah kecermatan berbahasa dan ketidak cermatan yang mengundang kekacauan informasi atau menimbulkan kesalah pahaman makna yang merugikan teks darama dan permasalahanya, merupakan permasalahan penggarapan bahasa di dalam drama.
Menggunakan bahsa tulis sebagai sarana teks darama, pengarang tidak berharap langsung dengan  pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi di bandingkan bahasa lisan. Akan tetapi situasi bahasa utama di dalam drama adalah dialog, meskipun menggunakan bahasa lisan, kesan kelisanan dalam bahasa langsung tetap menonjol dan dominan dalam drama di bandingkan pada fiksi. Kajian stilistika upaya utnuk pemahaman bahasa dalam karya drama.

C.    Tentang Pendekatan Analisis Drama
Pada pendekatan analisis drama ini penulis memdekan dan menjelaskan pedekan yang terbagi menjadi beberapa bagian yaitu :
1.      Pendekatan Objektif
Merupakan suatu pendekatan yang hanya menyelidiki karya satra itu sendiri tanpa menghubungkan dengan hal-hal di luar karya satra. Pendekatan ini tidak perlu memandang menghubungkan karya sastra dengan pengarang sebagai penciptanya, dengan kenyataan alam atau realitas objektif sebagai sumber penciptaan dan pembaca sebagai sasaran penciptaan.

2.      Pendekatan Mimesis
Merupakan suatu pendekatan yang setelah menyelidiki karya sastra sebagai suatu otonom yang berdiri sendiri, masih merasa perlu di hubung-hubungkan temuan itu dengan realita objektif. Tetapi otonom tetap masih mempunyai hubungan dengan sumbernya. Dan perlu di slidiki lebih lanjut. Otonomi sastra tidak berarti menghambat pencaharian hubungan dan data imajinatif dengan data normative dan data praktis dalam masyarakat yang menghidupkan karya satra tersebut.

3.      Pendekatan Ekspresif
Merupakan pendekatan yang telah memiliki karya satra sebagaai suatu yang otonom, masih merasa pelu mencari hubunganya dengan pengarang sebagai penciptaanya. Pendekatan ini amat memandang penting menghubungkan kareya sastra dengan pengarang, karena betapapun karya satra merupakan hasil ekspresif pengarangya.




4.      Pendekatan Pragmatis
Merupakan pendekatan yang memandang penting menghubungkan hasil temuan dalam satra dengan pembaca sebagai penikmat, pendekatan ini berkeyakinan jika temuan satra harus di hubungkan dengan yang di luar dirinya, maka pembacalah yang penting.

D.    Drama Dalam Dimensi Seni Pertunjukan
1.      Drama Sebagai Petunjuk dan Unsur Yang Mendukung
Penulis menjelaskan bahwa ada tiga pihak yang saling berkaitan dalam pementasan, sutradara, pemain, dan penonton. Dan mereka tidak akan bertemu jika tidak ada naskah atau teks. Secara praktis pementasan bermula dari naskah yang di pilih oleh sutradara, tentunya setelah melalui proses studi. Drama dalam dimensi seni pertunjukkan masih terlihat sederhana. Karena penonton ( terutama yang awam), menjadi tahu bahwa drama telah menjadi suatu seni pertunjukkan yang siap di nikmati.
Dari semua unsure, penulis memungkinkan sebuah drama dapat di pentaskan seni pertunjukan, maka dapat di pilh-pilih menjadi dua bagian besar, yaitu unsure utama, terdiri dari sutradara, pemain, teknis (pekerja panggung), dan penonton, unsure kedua sarana pendukung, yang terdiri dari pentas dan komposisinya, kostum, tatarias, pencahayaan, serta tata suara, dan ilustrasi musik. Dari keseluruhan unsure utamanya adalah unsur  manusia, unsure sasaran pendukung adalah unsure kebendaan atau barang. Maka ke efektifanya tergantung pada unsure utama.


KOMENTAR

Untuk mengomentari buku ini penulis laporan menggunakan tiga buku  pembanding. Buku utama berjudul “(Membaca Sastra) Pengantar Memahami Sastra Untuk Perguruan Tinggi) Melani Budianta, Dkk”, buku pembanding 1 untuk Puisi menggunakan buku yang berjudul “(Pengkajian Puisi) Rachmat Djoko Pradopo”, buku pembanding 2 untuk fiksi/prosa “(Prosedur Analisis Fiksi) Drs. Muhardi, M.S. dan Drs. Hasanuddin WS”, buku pembanding 3 untuk Drama “(Drama) Drs. Hasanuddin WS., M. Hum”. Berdasarkan hasil bandingan tentang isi ketiga  buku ini dapat dilaporkan hal-hal sebagai berikut ini.
dalam bab ini pada buku utama yang dilaporkan dari halaman 3-12, awal konsep penulis melaporkan pengertian sastra yang bertujuan agar pembaca/mahasisiwa memahami perbedaan ragam sastra dengan ragam ilmiah dalam menyampaikan “Pengetahuan” atau pemahaman tentang objek yang dibicarakan, karena bagi penulis sastra penting bagi anda atau pembaca didorong untuk lebih tahu tentang objek yang akan dibicarakan pada perkuliahan.
Buku utama yang dilaporkan oleh penulisan dari halamn 13-18 pembahasan tentang “Sastra; Antara Kovensi Dan Inovasi” dari judul subbab ini penulis melaporkan bahwa perbedaan sastra dan bukan sastra bersifat relatif. Dan juga untuk mengetahui apa yang disebut sastra selalu berubah dari zaman ke zaman karena sastrawan secara kreatif mengubah batasan-batasan yang sudah diterima masyrakat.
Disini penulis yang melaporkan buku yang telah dibaca, dari halaman 19-27 pembahasan subbab “Fungsi Sastra” ini memberikan pemahaman dungsi sastra yang dijelaskan secara rinci yaitu fungsi menghibur dan azas manfaat lainnya, serta penulis menciptakan dan memperbanyak karya sastra dalam masyarakat, pembehasan ini menjelaskan apa yang mencakup pada karya sastra yaitu pengarang, karya sastra, pembaca, penerbit, kritikus, pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dan komunitas sastra.
Penulis yang melaporkan dari halaman 31-73  pembahasan “Puisi” ini dapat mengenali conto-contoh ekspresi puitis dalam kehidupan sehari-hari, serta “Unsur-Unsur Pembangunan Puisi” membahas kekhasan puisi dari segi bentuk, bunyi, citraan dan pebandingan. “Aneka Ragam Puisi” bab ini penulis melaporkan keragaman jenis puisi dari berbagai zaman dan tempat.
Dari halaman 77-92 subbab “Prosa: Struktur Narasi” penulis bertujuan agar  pembaca mengenal struktur dan unsure-unsur narasi, perbedaan antara narasi (Kisahan) lengkap dengan ringkasannya. “Unsure-Unsur Prosa: Tokoh, Latar, Alur” subbab ini mempu menegenali unsure-unsur prosa naratif (kisahan), seperti contoh latar tempat dan waktu, serta alur. “Struktur Penceritaan/Penuturnya” penulis memberi penerapan untuk memahami aspek tuturan dan penuturan, terutama masalah teknik sudut pandang, bahwa pristiwa-peristiwa yang membentuk dunia fiksi tidak ditemukan kapada kita sebagaimana adanya menurut sudut pandang tertentu atau dikemukakan dengan cara tertentu.
Dari halamamn 95-115 subbab “Hakikat Drama” ini penulis bertujuan agar pembaca memahami salah satu genre sastra, yaitu drama, serta mampu mencirikan maupun membedakan drama dari genre sastra lainnya. “Karakteristik, Elemen Drama, dan Sasaran Dramatik” bab ini memberikan pemahaman lebih rinci berkenaan dengan karakteristik, elemen drama, dan sasran dramatic yang biasa dipergunakan. Dengan memahami penjelasan pada bab ini pembac diharapkan telah mampu mengenali dan memahami genre drama secara lebih mendalam dan utuh. “pengkatagorian Drama” bab ini memberikan gamabaran ringkas kepada mahasiswa atau pembaca menegenai jenis-jenis drama yang dapat dipahami berdasarkan kemungkinan pementasannya, ragam bahasa, kecenderungan stilistik, dan pola sajian.sedangkan penjelasan yang bersangkut paut dengan perkembangan pola kesenian atau kebudayaan umum, dan cenderung mengelompok ke dalam apa yang disebut dengan aliran, belum dibicarakan pada buku ini.
Pada buku pembanding 1 buku ini banyak memberiakn sumbangsih terhadap puisi, terutama pada pengkajian puisi. Karena penulisnya berusaha memaparkan tentang analisis puisi berdasarkan strata norma, stuktural dan semiotik, ketidak langsungan ekspresi, hubungan intertekstual, latar belakang sosial budaya. Dalam mempelajari buku ini  kita akan dapa memahami tentang pengertian puisi, bunyi, irama, kata, analisis puisi maupun hubungan intertekstual. Pada buku ini pengertiannya terdapat pada bagian akhir buku, bukan terletak pada awal.
 Pada buku rachmat djoko pradopo ini terdapat biografi pengarang. Sehingga apabila jika pembaca ingin menetahui hasil karangan apasaja yang dihasilkan oleh pengarang maka pembaca dapat mengetahuinya, dan pembaca dapat mengetahui informasi tentang pengarang. Di adalam buku ini terdapat daftar singkatan sehingga memudahkan pembaca dalam memahami isi dari buku ini.
Sedangkan pada buku pembanding 2 Prosedur Analisis Fiksi” (Drs. Muhardi, M.S. dan Drs. Hasanuddin WS) penulis melaporkan isi buku yang dibaca bahwa Fiksi merupakan genre sastra yang mengandalkan imajinasi dalam penciptaannya. Dalam  buku ini karya fiksi ada unsure-unsur yang membangun karya tersebut, yaitu ada unsure intrinsic dan ekstrinsik. Karya fiksi merupakan karya yang otonom yaitu hanya percaya pada dirinya sendiri atau dia dapat berdiri sendiri dan bebas. Dalam karya fiksi menggunakan pendekatan objektif. Dalam pendekatan objektif terdapat tahapan-tahapan prosedur fiksi meliputi serangkaian kegiatan, seperti pembacaan, penginventarisasian, pengidentifikasian, penginterpretasian, pembuktian, penyimpulan, dan pelaporan. Buku ini di mengkaji pemhasan tentang prosedur analisi fiksi.
Pada buku pembanding 3 Buku ini terbit pertama pada tahun 1997 yang direvisi dan diterbitkan kembali pada tahun 2009, namun pada penulisannya mengalami kesalahan-kesalahan. Kalau melihat dari kata revisi, seharusnya buku ini telah mengalami banyak pengeditan secara intens, namun tidak sesuai dalam banyaknya kesalahan penulisan.
Pembahasannya dibuat sesederhana mungkin. Mudah untuk dipahami maksudnya, tetapi pemaparan-pemaparan pendekatannya pada dimensi sastra berputar-putar. Maksudnya pemaparannya lebih banyak menggunakan contoh-contohnya, sehingga dapat dikatakan bahwa baik untuk pemahaman tetapi kurang baik dalam ketepatan (tidak bertele-tele).Cover buku ini sesuai dengan pembahasannya, yakni menggunakan topeng untuk mencerminkan drama. Topeng diidentikkan kepada “kepura-puraan” atau lakon pada suatu pementasan drama.



PENUTUP

Setelah melaporkan isi buku Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi dan membandingkan dengan buku bandingan pertama “(Pengkajian Puisi) Rachmat Djoko Pradopo”, buku pembanding 2 untuk fiksi/prosa “(Prosedur Analisis Fiksi) Drs. Muhardi, M.S. dan Drs. Hasanuddin WS”, buku pembanding 3 untuk Drama “(Drama) Drs. Hasanuddin WS., M. Hum”. Dapat disimpulkan bahwa isi buku  utama yang dilaporkan sesungguhnya dari segi bahasa lebih mudah dipahami karena menggunakan kalimat-kalimat sederhana, mudah dipahami dan juga tiap subbab materi lebih teratur.
 Penulis yang melaporkan menyimpulkan tentang puisi, buku ini memberikan sumbangsih terhadap kajian tentang puisi. Karena penulisnya berusaha untuk memaparkan tentang bagaimana itu puisi, apa itu puisi. Apa saja yang terkandung didalam puisi serta memberikan berbagai contoh puisi-puisi yang di karang oleh beberapa pengarang terkenal dan menganalisis puisi tersebut. Sehingga pembaca dalam membaca buku ini lebih mudah dalam memahaminya. Buku ini juga memberiakan ideks pada akhir bukunya.
Kelemahan buku ini memang ada, karena setiap manusia pasti memiliki kekurangan, oleh karena itu buku ini juga terdapat kekurangan. Karena yang mengarang buku ini adalah manusua, sehingga buku ini juga memiliki kekurangan dalam membuatnya. Kekurangrangan buku ini terdapat pada hakikat atau pengertian dari puisi. Pada buku ini pengarang meletakkan pengertian pada bagian akhir pembahasan. Tidak di letakkan pada awal pembahasan, sehingga pembaca harus melihat ke begian akhit terlebih dahulu jika ingin menetahui pangartian dari puisi. Kover pada buku ini juga kurang menarik, walaupun begitu dari segi mutu dan cetakannya sudah sangat baik.
Penulis yang melaporkan menyimpukan pembahasan fiksi bahwa manfaat Buku Prosedur Analisi Fiksi bagi kita adalah kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan karya sastra fiksi dan apa saja unsure-unsur yang membangun karya tersebut. Kita juga bias mengetahui apa pendekatan yang disunakan dalam kerya sastra fiksi dan bagaimana tahapan-tahapan kerja pada pendekatan objektif dalam karya sastra fiksi. Kita juga bias mengetahui bagaimana seharusna kita memperlakukan orang yang memiliki gangguan pada kejiwaan dan bagaimana sikap masyarakat terhadap orang gila

Ditinjau dari tujuannya, penyusun atau pengarang buku sekadar menginformasikan dan mengajak mengaplikasikan teori kepada siapa pun yang membaca keempat buku itu. Sehingga ada kesinambungan proses pentransferan ilmu. Dengan begitu nilai manfaat antara teori berdrama dengan aplikasinya di lapangan berjalan seimbang, tak ada ketimbangan. Dengan membaca ketiga buku tersebut akan bertambah wawasan pengetahuan dan diharapkan pula mampu membantu berbagi pengalaman tentang keterampilan dan seluk-beluk berdrama. Pembaca setuju jika ketiga buku itu dijadikan bahan sumber dalam pengajaran maupun penulisan sebuah karya tulis ilmiah. Jadi, sejatinya makin banyak membaca, khususnya tentang drama, maka akan meningkatkan cara berpikir, pemahaman, dan melahirkan kreatifitas berkarya sebagai wujud apresiasi terhadap buku yang telah dibaca.
Menurut pendapat saya, buku-buku Membaca Sastra, Pengantar Ilmu Sastra, dan ketiga buku pembanding teresbut dalam terapan ini sangat cocok menjadi referensi bagi mahasiswa. Selain keempat buku ini saling melengkapi dari berbagai segi, buku ini juga mudah dipahami mahasiswa, ketiga buku ini juga dapat menimbulkan rasa ingin tahu mahasiswa, terdapat bermacam penjelasan, teori, contoh-contoh dan lain sebagainya, dan  juga mahasiswa dapat dengan mudah memahami apa itu sastra, dan apa saja genre-genre sastra sebenarnya. Saran saya, agar mahasiswa dapat dengan sangat cermat memahami materi mengenai genre sastra ini, mahasiswa bisa menggunakan keempat buku ini sebagai sumber referensi.



DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani dkk. 2008. Membaca Sastra (Pengetar Memahami Sastra Untuk Perguruan                      Tinggi). Depok : Indonesia Tera.
Hasanuddin W.S. 1996. Drama Karya Dalam Dua Dimensi. Bandung : Angkasa.
Muhardi M.S, Dkk. 1992. Prosedur Analisis Fiksi. IKIP Padang Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012.  Pengkajian Puisi. Jogyakarta : Gajah Mada University Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar