UJIAN
TENGAH SEMESTER
Mata
Kuliah : Telaah Prosa
Dosen
Pembimbing : Welly Fictoria Tika, S.Pd
Baban
Studi : 2 (dua)
Tugas
: Analisis Cerpen “Orang Yang Selalu Cuci Tangan”
Nama : Dila Putri Indrias Sari
Npm : 14020211013
Kelas : A-B
Prodi : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Semester : Dua (2)
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (YPM) BANGKO KAB. MERANGIN
TAHUN
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan
kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat
menyelesaikan tugas UTS Menganalisis Cerpen. Pembuatan tugas ini merupakan
salah satu tugas untuk Ujian Tengan Semester yang diberikan dosen yang mengapu
mata kuliah Telaah Prosa.
Dalam Penulisan ini , penulis merasa masih banyak kekurangan,
baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
analisis cerpen. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak
yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Ibu Welly
Fictoria Tika, S.Pd sebagai dosen pengampu pada mata kuliah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian
dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan
kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat
membangun. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang……………………………………………………….1
2.
Rumusan Masalah……………………………………………………1
3.
Tujuan
Penulisan……………………………………………………..1
4.
Manfaat Penulisan……………………………………………………2
BAB II
B. PEMAHASAN
1.
Cerpen Orang Yang Selalu Cuci
Tangan…………………………....3
2.
Deskripsi
Cerpen……………………………………………………...7
3.
Karakterisrik Tokoh Dalam
Cerpen………………………………...7
4.
Analisis
Cerpen…………………………………………………….....9
a.
Tema
b.
Latar/Setting
c.
Alur
d.
Tokoh dan Penokohan
e.
Sudut Pandang
f.
Gaya Bahasa
g.
Amanat
BAB III
C. PENUTUP
1.
Kesimpulan dan
Saran………………………………………………17
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………......19
BAB
I
A. PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Sastra sudah menjadi konsumsi masyarakat dari berbagai
bidang. Masyarakat berbahasa pun dapat menemukan karya sastra dalam pendidikan
formal maupun tidak formal. Bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, prosa, drama,
puisi banyak dijumpai dalam kehidupan. Munculnya berbagai macam teks satra,
mendasari munculnya ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat
di dalam teks-teks sastra, lagi pula begaimana teks-teks tersebut berfungsi di
dalam masyarakat (Luxemburg et al, 1992:2).
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno
Gumirang akan menjadi bahan analisisi instrinsik. Alasannya, cerpen ini
memiliki tokoh tunggal, dan jarang ada dialog dengan tokoh lain. Penyelesaian
makalah ini yaitu dengan menafsirkan dahulu cerpen Orang yang Selalu Cuci
Tangan menggunakan analisis, karena cerpen ini termasuk cerpen yang
nonrealis. Selanjutnya, menganalisi tokoh dalam cerpen sesuai dengan gejala
yang ada dalam penceritaan dan dialog/monolog.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut?
1. Bagaimana deskripsi cerpen Orang
yang Selalu Cuci Tangan?
2. Bagaimana karakteristik tokoh dalam
cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan
3. Bagaimana unsur instrinsik dalam
cerpen?
3.
Tujuan Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan cerpen Orang yang
Selalu Cuci Tangan.
2. Mendaskripsikan karakter tokoh dalam cerpen Orang yang
Selalu Cuci Tangan.
3. Meganalisis unsur instrinsik.
4.
Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut,
maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi peneliti
sendiri sebagai sarana untuk meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra
berbentuk prosa.
2. Bagi mahasiswa Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan
wawasan, serta meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra berbentuk prosa.
3. Bagi masyarakat
luas adalah dapat memahami lebih dalam tentang cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno Aji Gumirang.
BAB II
B. PEMBAHASAN
1.
Cerpen
Orang Yang Selalu Cuci Tangan
Orang yang Selalu Cuci Tangan
Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 19 Mei 2013)
Semua orang di kantornya sudah tahu, ia
selalu mencuci tangannya. Banyak orang juga selalu mencuci tangan, tetapi tidak
sesering dirinya. Belum pernah ada yang menghitung, berapa kali ia mencuci
tangannya dalam sehari, tetapi dapat dipastikan sering sekali. Kalau ada orang
yang menyebut namanya, yang diingat setiap orang adalah, “Oh, yang selalu cuci
tangan itu ya?”, dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, “Nah! Iya, yang
selalu cuci tangan!”
Demikianlah ia kemudian dikenal
sebagai Orang yang Selalu Cuci Tangan. Tentu ia sendiri tidak tahu jika dirinya
mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya selalu merasa tangannya
kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci
tangan di wastafel. Tentu saja tak jarang tangannya itu memang kotor, meskipun
baginya setitik debu yang tak terlihat pun agaknya sudah sahih menyandang
istilah kotoran, sehingga ia pun akan selalu terlihat berjalan menuju wastafel
untuk mencuci tangannya. Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah berdiri
lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor,
begitu kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.
Tentunya bisa diterima betapa setiap
tangan yang kotor memang sebaiknya, lebih baik, memang seharusnya, bahkan wajib
dicuci, tapi bagaimana kalau sebetulnya bersih?
“Barangkali ia sebetulnya hanya
selalu merasa tangannya kotor.”
“Merasa?”
“Ya, tangannya itu sendiri
sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya
kotor.”
“Makanya ia selalu mencuci
tangannya!”
Demikianlah orang-orang di kantornya
bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci
tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.
***
Di depan wastafel ia mencuci tangan,
pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri.
“Wajah itulah,” pikirnya, “wajah
itulah!”
Wajah yang selalu muncul di koran
dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat
sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi
kehormatan wajah itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam
pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap
wajahnya.
“Mengapa tanganku selalu kotor?”
Ia sendiri tak tahu sejak kapan
mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang mengira ia hanya merasa tangannya
kotor, tetapi dalam pandangannya tangannya memang betul-betul kotor.
Mula-mula hanya seperti sedikit
berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.
“Apakah ini karena aku selalu
melakukan pekerjaan kotor?”
Ia ingin sekali percaya, bahwa
dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan betul-betul kotor.
Ia sendiri meragukan, manakah yang
sebetulnya lebih baik, antara selalu mencuci tangan karena merasa tangannya
selalu kotor dibandingkan dengan selalu mencuci tangan karena tangannya betul-betul
kotor. Namun ia sungguh-sungguh ingin percaya, meskipun ia selalu melihat
tangannya betul-betul kotor, betapa tangannya itu sendiri sebetulnya bersih.
Sementara itu, ia masih terus
melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor, sampai yang
seolah-olah tidak kotor.
***
Pada suatu hari, ketika ia mencuci
tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak
kecoklat-coklatan.
“Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu
mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
“Mencuci tangan kok jadi tambah
kotor,” pikirnya, “mana boleh jadi?”
Segeralah para tukang dipanggil
untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya
membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata
air kran itu baik-baik saja adanya.
“Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar
para tukang.
Kini ia khawatir, adalah matanya
yang justru bermasalah. Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata hanya
perasaannya sajalah yang membuat ia mengira tangannya selalu kotor, yang
membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan, meskipun tangannya itu sama
sekali tidak kotor.
***
Air kran yang mengucur di wastafel
itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya
kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian
juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya
mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak
ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri
bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya
hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
Maka ia pun tetap mencuci tangannya
dengan air terkotor di dunia yang mengucur dari kran itu. Tidak cukup hanya
mencuci tangan, ia juga menggunakannya untuk cuci muka, membasuh wajahnya
begitu rupa sehingga ia merasa dirinya bersih suci murni tanpa dosa dan
antihama.
***
Suatu kali, ketika pekerjaan
kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah. Namun ia tetap
yakin dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin
lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang
memandangnya dengan aneh karena, “Airnya tidak apa-apa Pak!”
Ia mencuci tangannya dengan darah
yang mengucur dari kran itu dengan perasaan mencuci tangan sebersih-bersihnya.
Lantas ia mencuci muka, tempat segala kehormatannya dipertaruhkan, dengan darah
yang mengucur dari kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia menatap
wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa
tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan
darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan
dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat
bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.
Semua orang terbelalak! (*
2.
Deskripsi
Cerpen
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan menceritakan
kebiasaan seorang bos di sebuah kator yang dikenal selalu mencuci tangan di
wastafel. Tokoh laki-laki ini selalu mencuci tangan, karena ia merasa tangannya
selalu kotor. Bahkan berapa kali Ia mencuci tangan dalam sehari, tidak dapat
dihitung. Alasan tokoh selalu mencuci tangan karena Ia ingin menjaga wajahnya
agar selalu tampak terhormat, menurutnya tangan kotor akan mempengaruhi
pandangan banyak orang terhadap wajahnya.
Suatu hari, ketika akan mencuci tangan di wastafel,
laki-laki ini melihat air wastafel sangat kotor. Dia pun merasa tidak nyaman
untuk mencuci tangan di air yang kotor. Dipanggillah seorang tukang untuk
memeriksa, namun tukang malah mengatakan bahwa airnya tidak apa-apa. Laki-laki
ini sangat malu, dan beranggapan bahwa matanya yang bermasalah. Semakin lama
air kran semakin kotor, namun ia beranggapan bahwa itu hanya perasaannya saja,
dia selalu mengatakan bahwa air yang kotor itu sebenarnya air bersih. Maka
laki-laki ini tetap saja mencuci tangan di kran yang saat itu mengucurkan
darah, bahkan juga untuk membasuh wajah dengan air yang ternyata memang
benar-benar darah. Tapi tetap saja iya meyakinkan diri bahwa itu hanyalah
perasaannya. Setelah keluar ruangan, semua orang terbelalak melihat bosnya.
3.
Karakteristik Tokoh Dalam Cerpen
Berdasarkan deskripsi cerpen di atas, karakteristik tokoh
dapat diuraikan dalam beberapa kategori. Karakteristik/ kepribadian tokoh
berhubungan dengan fisik dan psikis tokoh dalam cerpen. Pembawaan
yang mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku merupakan karakteristik
seseorang yang menampilkan cara ia beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan,
yang disebut kepribadian (Santrock dalam Minderop, 2013:8). Kepribadian tokoh
ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Salah satu sikap tokoh yang terdapat
dalam cerpen adalah tokoh terkenal selalu mencuci tangan., berikut kutipannya.
Semua
orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya.
( Paragraf 1) Oh, yang selalu cuci tangan itu ya?”, dan akan selalu
ditanggapi kembali dengan, “Nah! Iya, yang selalu cuci tangan! (paragraf 1)
Kedua kutipan di atas adalah bukti tersurat bahwa tokoh
memang sering mencuci tangannya. Kutipan pertama merupakan penceritaan yang
menggambarkan bahwa tokoh adalah orang yang tenar karena kebiasaannya mencuci
tangan. Sedangkan, kutipan kedua adalah dialog (karyawan) yang terus
membicarakan kebiasaan bosnya.
Karakterisasi kedua yang diceritakan dalam cerpen,
tokoh adalah seorang bos/ atasan. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan
berikut ini.
Demikianlah
orang-orang di akntornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu
mereka lihat sedang mencuci tangan diwastafel ketika mereka memasuki
ruangannya.(paragraf. 8)
Kutipan di atas menceritakan bahwa karyawan tokoh sedang
bergunjing tentang atasannya yang selalu terlihat mencuci tangan. Hal ini
membuktikan bahwa tokoh adalah seorang bos atau atasan di sebuah kantor.
Karakteristik ketiga, tokoh adalah orang yang selalu menjaga
kehormatan dirinya. uraian tersebut didukung oleh penceritaan dalam cerpen, berikut
ini kutipannya.
Wajah
yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar
selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa
lebih terhormat. Demi kehormatan itulah ia telah selalu mencuci tangannya,
karena tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadapnya.
(Paragraf 11)
Kutipan di atas adalah bukti bahwa si atasan ini selalu
menjaga kehormatan, makanya Ia selalu mencuci tangan. Baginya jika tangannya
bersih, orang akan memandangnya sebagai seorang yang terhormat. Selain itu,
wajahnya juga sering muncul di koran dan televisi.
Karakteristik keempat adalah tokoh melakukan pekerjaan
kotor. Hal ini ada dalam cerpen dan tersurat ketika tokoh bermonolog dengan
dirinya sendiri. Berikut kutipannya.
Apakah
ini karena aku selalu melakukan perkerjaan kotor? (p.
15)
Sementara
itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-
betul
kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor. (p. 18)
Kedua kutipan di atas, menjelaskna bahwa tokoh melakukan
pekerjaan kotor, namun tidak dijelaskan apa perkerjaan kotornya. Kutipan
pertama adalah dialog tokoh, yang sedang bertanya pada dirinya sendiri,
sedangkan kutipan kedua adalah penceritaan.
Karakteristik terakhir, tokoh merupakan orang yang sering
ragu dengan perasaannya. Pembuktiannya ada pada kutipan berikut.
Ia
berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar,
dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya
sahaja.(p.30)
Kutipan di atas adalah menceritakan tokoh yang kebingungan
karena air kran untuk cuci tangan keruh. Karena sebelumnya tokoh pernah
memanggil tukan keran, dan si tukang berkata bahwa airnya baik-baik saja.
Akhirnya penglihatannya bahwa air kran benar-benar kotor tidak ia percayai
lagi.
4.
Analisis
Cerpen
a.
Tema
Aminuddin dalam Scharbach(2000:91) tema berasal dari bahas
latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperannan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang dicitakannya.
Kesimpulannya tema adalah sesuatu yang menjadi pokok
masalah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya, Pada
cerpen Orang Yang Selalu Cuci Tangan tema yang tekandung adalah seorang
bos/atasan ia yang selalu membersihkan kehormatannya dari hal kotor. Gaambaran
elite polotik.
Hal diatas dapat dilihat dari isi cerpen tersebut “Wajah
yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agara
selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa
lebih terhormat. Demi kehormatan itulah ia selalu mencuci tangannya, karena
dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak
terhadap wajahnya”. (p. 11)
b.
Latar/setting
Aminudin(2000:67), Latar (setting) adalah latar peristiwa
dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun pristiwa. Kesimpilannya
latar/seting adalah merupakan tempat, waktu, dan suasana teijadinya perbuatan
tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh.
1. Tempat
v Kantor
“Semua
orang di kantornya sudah tahu,ia selalu memcuci tangannya”.terdapat pada
paragraf 1.
v Wastafel
“Pada
suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran
dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan”.
2. Waktu
v Siang hari
“Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel….”
Hal ini dikatakan siang hari karena ia yang selalu mencuci tangan setiap
tangannya kotor, berdebu, atau sekli pun sebenarnya tidak kotor, ia yang selalu
mencuci tangan di wasteful di ruangan kantor.
3. Suasana
v Menyedihkan
“Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang
atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel
ketika mereka memasuki ruangannya.” Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada
saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri. “Wajah itulah,” pikirnya,
“wajah itulah!”
Pada suasana ini dikatakan menyedihka karena ia yang menajdi
bahan gunjingan orang-orang dikantornya yang melihat ia sedaang mencuci tangan.
Disitu ia merasa sedih karena ia selalu di gunjingi orang-orang yang melihat
perbuatannya.
v Menegangkan
“Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, “mana
boleh jadi?” Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya
yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih
kini justru membuat tangan semakin kotor”.
“Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin
bertambah kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi
kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak
kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara seperti
orang berdahak”.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
“Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan
ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya
sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan darah”.
Menegangkan disini karena setelah ia memcuci dan membasuh
wajahnya, yang di lihatnya ketika berecermin wajahnya bersimbah darah.
v Menyenangkan
“Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa
tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu bersih,
bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih”.
Ia dengan perecaya diri dan merasa senang bahwa yang di
lihatnya hanyalah perasaannya saja.
c.
Alur
Aminudin (2000:83) alur adalah rangkaian cerita yang
dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Kesimpulannya Alur merupakan pola pengembangan cerita yang
terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Intisari alur ada pada permasalahan
cerita. akan tetapi, suatu permasalahan dalam novel tak bisa dipaparkan begitu
saja; jadi harus ada dasarnya. Oleh karena itu, alur terdiri atas (1) Saling mengenal
, (2) munculnya pertikaian, (3) Tahap klimaks, (4)Tahap Peleraian , dan (5)
menyelesaikan konflik atau masalah.
Alur cerita dalam cerpen ini adalah
alur maju. Yaitu alur yang peristiwanya berurutan mulai dari cerita awal hingga akhir.
1.
Tahap pengenalan
Pada cerepen
ini tidak terdapat tahap penegenalan karena disini pada cerpen Orrang Yang
Selalu cuci Tangan ini tokohnya tunggal. Jadi tidak ada tahap penegnalan yang
terjadi
2.
Munculnya Pertikaian
Demikianlah orang-orang di kantornya
bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci
tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.
Pada suatu hari, ketika ia mencuci
tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak
kecoklat-coklatan.
“Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu
mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
3. Tahap klimaks
Air kran yang mengucur di wastafel
itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya
kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian
juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya
mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak
ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri
bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya
hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
4. Tahap peleraian
Segeralah para tukang dipanggil
untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya
membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
5. Penyelesaian masalah/konflik
Begitulah, ia pun keluar ruangan
dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat
bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.
d.
Tokoh Dan Penokohan
Aminudin (2000:79) peristiwa dalam
karya fiksi seperti dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau
pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita yang disebut dengan tokoh.
Sedangkan cara pengarang nemapilkna tokoh atau pelaku itu disebut dengan
penokohan.
Kesimpulan tokoh adalah para pelaku yang
terdapat dalam sebuah fiksi/cerpen. Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.
1. Ia
Ia adalah orang yang selalu cuci tangan ini
adalah sosok elit politik. Sering muncul di koran dan televisi serta suka “jaim
(jaga image)” dengan aneka ragam pencitraannya. Sangat takut jika dinilai
“jelek” oleh masyarakat.
2. Orang-orang dikantornya/karyawan
Orang-orang di kantornya yang suka bergunjing tentang tokoh
ia, dan selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukan si ia pada tokoh tersebut.
3. Para tukang
Disini para tukang yang berbaik hati mau menolong untuk
mememriksa air untuk memcuci tanngannya itu, megeluarkan darah dan berbau
busuk. Dan terenyata para tukang tersebut menyadarkan ia yang di dalam tokoh,
bahwa yang dilihatnya itu hanya lah perasanya saja. Dan sebenarnya yang keluar
adalah air biasa.
e.
Sudut Pandang
Aminuddin (2000:90) sudut pandang
adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Kesimpulannya
sudut pandang adalah posisi pengarang atau narator dalam membawakan cerita
tersebut.
Sudut pandang yang digunakan
pengarang adalah sudut pandang orang kedua .hal tersebut dapat dilihat dari
bagaimana cara pengisahannya yang menggunakan kata “ Ia”dalam cerpen tersebut.
f.
Gaya Bahasa
Aminudin
(2000:72) gaya bahasa diangkat dari istilah style
yang berasal dari bahsa latin stilus dan mengandung arti leksikal ‘
alat untuk menulis’ dalam karya sastra
istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu
menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca.
kesimpulannya
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan
jiwa dan kepribadian penulis/pemakai bahasa.
Gaya
bahasa yng digunakan Dalam cerpen “Orang yang Selalu Cuci Tangan” dikisahkan
orang yang selalu mencuci tangannya melebihi kebiasaan secara umum. Kalimat “cuci tangan” sendiri adalah istilah yang
sering dipergunakan untuk orang yang menghindar dari tanggung jawab. Dalam
cerpen itu dituliskan alasan seringnya cuci tangan :
Wajah yang selalu muncul di koran dan
televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat
terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah
itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang
kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
Hebatnya
lagi, ketika kesalahan mereka terungkap dan dikenai sanksi – mereka tidak mau
mengakui. Aparat penegak hukum diserang sebagai tidak adil dan memiliki motif
tersembunyi. Media massa ikut dilabrak sudah tidak independen lagi. Pokoknya
semua yang mengungkapkan borok mereka dianggap sebagai kelompok yang anti.
Mirip dengan nasib “air” dalam cerpen
ini.
”Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah
masalah besar.
”Mencuci tangan kok jadi tambah
kotor,” pikirnya, ”mana boleh jadi?”
Segeralah para tukang
dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang
seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin
kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air
kran itu baik-baik saja adanya. ”Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
“Wajah itulah!” pikirnya, wajah yang
katanya selalu muncul di media massa, yang selalu dijaga kehormatannya,
sehingga tampak terhormat. Gambaran mengenai wajah dalam cerita ini tentu saja
bisa berarti sebenarnya, maupun tidak sebenarnya. Maksudnya, wajah adalah
sebuah citra mengenai diri seseorang. Wajah adalah yang, mau tak mau, pertama
dilihat oleh orang lain dalam menilai diri kita. Meski wajah bukanlah
satu-satunya indikator penilaian terhadap seseorang. Suatu wajah yang bagus
akan memberi kesan yang baik pada seluruh orang yang melihatnya. Wajah yang
teduh, damai, terhormat, yang akan menimbulkan kesan baik. Dan memang benar,
wajah haruslah dijaga.
g.
Amanat
adalah pesan/kesan yang dapat memberikan tambahan
pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan
penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup. Amanat yang
terdapat antara lain yaitu :
orang yang selalu cuci tangan ini adalah sosok
ini sangat mirip dengan sosok elit politik yang mengalami disorientasi. Karena
seringnya melakukan hal yang kotor, seperti korupsi – lama kelamaan tidak mampu
lagi menilai mana yang benar dan mana yang salah. Suara batin mereka sudah
dikalahkan oleh ketamakan. Yang paling parah, selalu mencari alasan pembenar
untuk tindakan mereka. Kadang menampilkan sosok religius sebagai kamuflase. Hal
ini memberikan amanat bahwa orang yang tidak bertanggung jawab, korupsi dan
selalu berpura-pura agar tidak tahu apa yang terjadi, malah menjadi bahan
gunjingan orang-orang. Jadilah sosok pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab.
BAB III
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan Dan Saran
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno Aji
Gumirang adalah cerpen yang maknanya tersembunyi dalam tanda-tanda. Cerpen ini
menceritakan seorang bos yang melakukan pekerjaan kotor, namun ia terus menjaga
nama baiknya, tetapi juga dengan cara yang kotor. Sampai rasa berasalah
akhirnya menghantui tokoh dan membuat semua orang tahu bahwa si bos melakukan
pekerjaan kotor.
Dalam cerpen
“Orang yang Selalu Cuci Tangan” dikisahkan orang yang selalu mencuci tangannya
melebihi kebiasaan secara umum. Kalimat “cuci tangan” sendiri adalah istilah
yang sering dipergunakan untuk orang yang menghindar dari tanggung jawab.
Bisa ditarik
kesimpulan jika orang yang selalu cuci tangan ini adalah sosok elit politik.
Sering muncul di koran dan televisi serta suka “jaim (jaga image)” dengan aneka
ragam pencitraannya. Sangat takut jika dinilai “jelek” oleh masyarakat.
Sosok ini sangat
mirip dengan sosok elit politik yang mengalami disorientasi. Karena seringnya
melakukan hal yang kotor, seperti korupsi – lama kelamaan tidak mampu lagi
menilai mana yang benar dan mana yang salah. Suara batin mereka sudah
dikalahkan oleh ketamakan. Yang paling parah, selalu mencari alasan pembenar
untuk tindakan mereka. Kadang menampilkan sosok religius sebagai kamuflase.
Hebatnya lagi,
ketika kesalahan mereka terungkap dan dikenai sanksi – mereka tidak mau
mengakui. Aparat penegak hukum diserang sebagai tidak adil dan memiliki motif
tersembunyi. Media massa ikut dilabrak sudah tidak independen lagi. Pokoknya
semua yang mengungkapkan borok mereka dianggap sebagai kelompok yang anti.
Cerpen ini memiliki alur yang mudah diikuti dan runtut,
sehingga tidak menyulitkan ketika mengkaji unsur instrinsik pada akhir cerpen
juga ada sesuatu yang mengganjal dengan endingnya, namun sepertinya cerpen
memang di desain seperti ini, agar pembaca dapat menebak endingnya.
Sekarang, apakah
kita dapat membedakan bahwa posisi kita dalam kehidupan ini adalah benar,
ataukah salah? Sedangkan kebenaran adalah absolut, namun perspektif mengenai
kebenaran itu sendiri adalah abstrak.
Kemudian, di
dalam cerpen tersebut disebutkan bahwa ia ingin percaya betapa tangannya itu
sendiri sebetulnya adalah tangan yang bersih, meskipun ia selalu melihat atau
merasa tangannya betul-betul kotor, sangat kotor. Sementara, ia masih saja
terus melakukan pekerjaan kotor.
Ada kalanya, di
dalam hidup ini manusia ingin percaya bahwa yang telah diperbuatnya adalah
perbuatan yang terbaik bagi dirinya. “Ini adalah yang terbaik”, begitu kata
hati tiap orang ketika menyelesaikan suatu perbuatan yang hasilnya entah itu
baik atau buruk, demikian kata hati. Meskipun pada kenyataannya di luar
pandangan kita, kita tak pernah tahu bahwa itu memang baik atau buruk. Begitu
mengerikannya dunia ini jika manusia-manusianya sudah tak dapat lagi membedakan
mana yang benar dan mana yang salah.
Dalam ajaran
agama, tentu ada sebuah doa yang sering dipanjatkan agar seorang manusia yang
berdoa itu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kurang lebih
seperti ini: “Ya Tuhan, sahaya bermohon tunjukkan lah pada sahaya bahwa
suatu perbuatan baik itu baik, dan berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya.
Serta tunjukkanlah pada sahaya bahwa suatu perbuatan buruk itu buruk, dan
berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya”.
Ketika kita
telah benar-benar dapat membedakan yang baik dan yang buruk secara fakta, bukan
berlandaskan sentimentalisme belakang, maka saat itulah pencapaian seorang
manusia telah mencapai setengahnya. Setengah yang lain kemana? Tentu dengan
cara melaksanakan yang baik, dan meninggalkan yang buruk, bukan hanya
membedakan keduanya.
Dan kembali pada
cerpen, pada akhirnya ia memang menjadi sedikit gila karena sudah tak dapat
membedakan yang baik dan buruk. Itu lah manusia yang benar-benar merugi. Ia
hanya ingin selalu percaya bahwa tangannya selalu bersih, bahwa yang
diperbuatnya memang bersih, sehingga tak menyadari betapa dirinya sebenarnya
sedang dalam keadaan tangan kotor. Sampai air kran yang sangat kotor ia anggap
sebagai air yang bersih dan digunakannya untuk mencuci tangan. Bahkan ketika ia
tetap melaksanakan pekerjaan kotor yang kali itu berkaitan dengan darah
seseorang, sehingga air yang mengucur dari kran berupa darah merah, ia tetap
ingin percaya bahwa yang mengucur adalah air bersih, dan digunakannya pula
untuk mencuci tangan, bahkan wajah, tempat segala kehormatannya selama ini
dipertahankan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi
Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Keraf, gorys. 2004. Diksi dan gaya
bahasa. Jakarta. Penerbit : pt gramedia pustaka utama.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Willem G.W. 1992. Pengantar
Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar