Senin, 08 Juni 2015

analisisi cerpen orang yang selalu cuci tangan

UJIAN TENGAH SEMESTER

Mata Kuliah : Telaah Prosa
Dosen Pembimbing : Welly Fictoria Tika, S.Pd
Baban Studi : 2 (dua)
Tugas : Analisis Cerpen “Orang Yang Selalu Cuci Tangan”



Nama  : Dila Putri Indrias Sari
Npm    : 14020211013
Kelas   : A-B
Prodi   : Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia
Semester : Dua (2)




SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (YPM) BANGKO KAB. MERANGIN
TAHUN 2015


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT. atas rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas UTS Menganalisis Cerpen. Pembuatan tugas ini merupakan salah satu tugas untuk Ujian Tengan Semester yang diberikan dosen yang mengapu mata kuliah Telaah Prosa.
Dalam Penulisan ini , penulis merasa masih banyak kekurangan, baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah  analisis cerpen. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Ibu Welly Fictoria Tika, S.Pd sebagai dosen pengampu pada mata kuliah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan dan penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis akan menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun. Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.











DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang……………………………………………………….1
2.      Rumusan Masalah……………………………………………………1
3.      Tujuan Penulisan……………………………………………………..1
4.      Manfaat Penulisan……………………………………………………2
BAB II
B.     PEMAHASAN
1.      Cerpen Orang Yang Selalu Cuci Tangan…………………………....3
2.      Deskripsi Cerpen……………………………………………………...7
3.      Karakterisrik Tokoh Dalam Cerpen………………………………...7
4.      Analisis Cerpen…………………………………………………….....9
a.      Tema
b.      Latar/Setting
c.       Alur
d.      Tokoh dan Penokohan
e.       Sudut Pandang
f.       Gaya Bahasa
g.      Amanat
BAB III
C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan dan Saran………………………………………………17
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………......19



BAB I
A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Sastra sudah menjadi konsumsi masyarakat dari berbagai bidang. Masyarakat berbahasa pun dapat menemukan karya sastra dalam pendidikan formal maupun tidak formal. Bentuk-bentuk sastra seperti dongeng, prosa, drama, puisi banyak dijumpai dalam kehidupan. Munculnya berbagai macam teks satra, mendasari munculnya ilmu sastra. Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra, lagi pula begaimana teks-teks tersebut berfungsi di dalam masyarakat (Luxemburg et al, 1992:2).
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno Gumirang akan menjadi bahan analisisi instrinsik. Alasannya, cerpen ini memiliki tokoh tunggal, dan jarang ada dialog dengan tokoh lain. Penyelesaian makalah ini yaitu dengan menafsirkan dahulu cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan menggunakan analisis, karena cerpen ini termasuk cerpen yang nonrealis. Selanjutnya, menganalisi tokoh dalam cerpen sesuai dengan gejala yang ada dalam penceritaan dan dialog/monolog.

2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut?
1.      Bagaimana deskripsi cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan?
2.      Bagaimana karakteristik tokoh dalam cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan
3.      Bagaimana unsur instrinsik dalam cerpen?

3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Mendeskripsikan cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan.
2.       Mendaskripsikan karakter tokoh dalam cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan.
3.      Meganalisis unsur instrinsik.


4.      Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Bagi peneliti sendiri sebagai sarana untuk meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra berbentuk prosa.
2.      Bagi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan wawasan, serta meningkatkan apresiasi terhadap karya sastra berbentuk prosa.
3.      Bagi masyarakat luas adalah dapat memahami lebih dalam tentang cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno Aji Gumirang.
























BAB II
B.     PEMBAHASAN
1.      Cerpen Orang Yang Selalu Cuci Tangan

Orang yang Selalu Cuci Tangan
Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 19 Mei 2013)

Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. Banyak orang juga selalu mencuci tangan, tetapi tidak sesering dirinya. Belum pernah ada yang menghitung, berapa kali ia mencuci tangannya dalam sehari, tetapi dapat dipastikan sering sekali. Kalau ada orang yang menyebut namanya, yang diingat setiap orang adalah, “Oh, yang selalu cuci tangan itu ya?”, dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, “Nah! Iya, yang selalu cuci tangan!”
Demikianlah ia kemudian dikenal sebagai Orang yang Selalu Cuci Tangan. Tentu ia sendiri tidak tahu jika dirinya mendapat julukan seperti itu, ia hanya tahu dirinya selalu merasa tangannya kotor, dan setiap kali ia merasa tangannya kotor ia selalu merasa harus cuci tangan di wastafel. Tentu saja tak jarang tangannya itu memang kotor, meskipun baginya setitik debu yang tak terlihat pun agaknya sudah sahih menyandang istilah kotoran, sehingga ia pun akan selalu terlihat berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Kadang baru duduk sebentar ia segera sudah berdiri lagi, menuju wastafel untuk mencuci tangan yang dirasanya amat sangat kotor, begitu kotor, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih kotor.
Tentunya bisa diterima betapa setiap tangan yang kotor memang sebaiknya, lebih baik, memang seharusnya, bahkan wajib dicuci, tapi bagaimana kalau sebetulnya bersih?
“Barangkali ia sebetulnya hanya selalu merasa tangannya kotor.”
“Merasa?”
“Ya, tangannya itu sendiri sebetulnya bersih, tapi ia selalu merasa tangannya
kotor.”
“Makanya ia selalu mencuci tangannya!”
Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.

***
Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri.
“Wajah itulah,” pikirnya, “wajah itulah!”
Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
“Mengapa tanganku selalu kotor?”
Ia sendiri tak tahu sejak kapan mulai mencuci tangannya terus. Banyak orang mengira ia hanya merasa tangannya kotor, tetapi dalam pandangannya tangannya memang betul-betul kotor.
Mula-mula hanya seperti sedikit berdebu, tetapi lama-lama seperti berlumur lumpur.
“Apakah ini karena aku selalu melakukan pekerjaan kotor?”
Ia ingin sekali percaya, bahwa dirinya sebetulnya hanya merasa tangannya kotor, bukan betul-betul kotor.



Ia sendiri meragukan, manakah yang sebetulnya lebih baik, antara selalu mencuci tangan karena merasa tangannya selalu kotor dibandingkan dengan selalu mencuci tangan karena tangannya betul-betul kotor. Namun ia sungguh-sungguh ingin percaya, meskipun ia selalu melihat tangannya betul-betul kotor, betapa tangannya itu sendiri sebetulnya bersih.
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-betul kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor.

***
Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
“Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
“Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, “mana boleh jadi?”
Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya.
“Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
Kini ia khawatir, adalah matanya yang justru bermasalah. Betapapun ia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya sajalah yang membuat ia mengira tangannya selalu kotor, yang membuatnya selalu merasa harus mencuci tangan, meskipun tangannya itu sama sekali tidak kotor.

***
Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
Maka ia pun tetap mencuci tangannya dengan air terkotor di dunia yang mengucur dari kran itu. Tidak cukup hanya mencuci tangan, ia juga menggunakannya untuk cuci muka, membasuh wajahnya begitu rupa sehingga ia merasa dirinya bersih suci murni tanpa dosa dan antihama.

***
Suatu kali, ketika pekerjaan kotornya menumpahkan darah, kran itu pun mengucurkan darah. Namun ia tetap yakin dan percaya bahwa yang dilihatnya adalah air kran biasa. Ia tidak ingin lagi-lagi memanggil tukang dan lagi-lagi akan menerima tatapan mata yang memandangnya dengan aneh karena, “Airnya tidak apa-apa Pak!”
Ia mencuci tangannya dengan darah yang mengucur dari kran itu dengan perasaan mencuci tangan sebersih-bersihnya. Lantas ia mencuci muka, tempat segala kehormatannya dipertaruhkan, dengan darah yang mengucur dari kran itu juga.
Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan darah.
Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.
Semua orang terbelalak! (*









2.      Deskripsi Cerpen
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan menceritakan kebiasaan seorang bos di sebuah kator yang dikenal selalu mencuci tangan di wastafel. Tokoh laki-laki ini selalu mencuci tangan, karena ia merasa tangannya selalu kotor. Bahkan berapa kali Ia mencuci tangan dalam sehari, tidak dapat dihitung. Alasan tokoh selalu mencuci tangan karena Ia ingin menjaga wajahnya agar selalu tampak terhormat, menurutnya tangan kotor akan mempengaruhi pandangan banyak orang terhadap wajahnya.
Suatu hari, ketika akan mencuci tangan di wastafel, laki-laki ini melihat air wastafel sangat kotor. Dia pun merasa tidak nyaman untuk mencuci tangan di air yang kotor. Dipanggillah seorang tukang untuk memeriksa, namun tukang malah mengatakan bahwa airnya tidak apa-apa. Laki-laki ini sangat malu, dan beranggapan bahwa matanya yang bermasalah. Semakin lama air kran semakin kotor, namun ia beranggapan bahwa itu hanya perasaannya saja, dia selalu mengatakan bahwa air yang kotor itu sebenarnya air bersih. Maka laki-laki ini tetap saja mencuci tangan di kran yang saat itu mengucurkan darah, bahkan juga untuk membasuh wajah dengan air yang ternyata memang benar-benar darah. Tapi tetap saja iya meyakinkan diri bahwa itu hanyalah perasaannya. Setelah keluar ruangan, semua orang terbelalak melihat bosnya.

3.      Karakteristik Tokoh Dalam Cerpen
Berdasarkan deskripsi cerpen di atas, karakteristik tokoh dapat diuraikan dalam beberapa kategori. Karakteristik/ kepribadian tokoh   berhubungan dengan fisik dan psikis tokoh dalam cerpen. Pembawaan yang mencakup dalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku merupakan karakteristik seseorang yang menampilkan cara ia beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan, yang disebut kepribadian (Santrock dalam Minderop, 2013:8). Kepribadian tokoh ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Salah satu sikap tokoh yang terdapat dalam cerpen adalah tokoh terkenal selalu mencuci tangan., berikut kutipannya.

Semua orang di kantornya sudah tahu, ia selalu mencuci tangannya. ( Paragraf 1) Oh, yang selalu cuci tangan itu ya?”, dan akan selalu ditanggapi kembali dengan, “Nah! Iya, yang selalu cuci tangan! (paragraf 1)

Kedua kutipan di atas adalah bukti tersurat bahwa tokoh memang sering mencuci tangannya. Kutipan pertama merupakan penceritaan yang menggambarkan bahwa tokoh adalah orang yang tenar karena kebiasaannya mencuci tangan. Sedangkan, kutipan kedua adalah dialog (karyawan) yang terus membicarakan kebiasaan bosnya.
Karakterisasi kedua yang diceritakan dalam cerpen,  tokoh adalah seorang bos/ atasan. Hal ini dapat dibuktikan melalui kutipan berikut ini.

Demikianlah orang-orang di akntornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan diwastafel ketika mereka memasuki ruangannya.(paragraf. 8)
Kutipan di atas menceritakan bahwa karyawan tokoh sedang bergunjing tentang atasannya yang selalu terlihat mencuci tangan. Hal ini membuktikan bahwa tokoh adalah seorang bos atau atasan di sebuah kantor.
Karakteristik ketiga, tokoh adalah orang yang selalu menjaga kehormatan dirinya. uraian tersebut didukung oleh penceritaan dalam cerpen, berikut ini kutipannya.

Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadapnya. (Paragraf 11)

Kutipan di atas adalah bukti bahwa si atasan ini selalu menjaga kehormatan, makanya Ia selalu mencuci tangan. Baginya jika tangannya bersih, orang akan memandangnya sebagai seorang yang terhormat. Selain itu, wajahnya juga sering muncul di koran dan televisi.
Karakteristik keempat adalah tokoh melakukan pekerjaan kotor. Hal ini ada dalam cerpen dan tersurat ketika tokoh bermonolog dengan dirinya sendiri. Berikut kutipannya.

Apakah ini karena aku selalu melakukan perkerjaan kotor? (p. 15)
Sementara itu, ia masih terus melakukan pekerjaan kotor. Mulai dari yang betul-
betul kotor, sampai yang seolah-olah tidak kotor. (p. 18)
Kedua kutipan di atas, menjelaskna bahwa tokoh melakukan pekerjaan kotor, namun tidak dijelaskan apa perkerjaan kotornya. Kutipan pertama adalah dialog tokoh, yang sedang bertanya pada dirinya sendiri, sedangkan kutipan kedua adalah penceritaan.
Karakteristik terakhir, tokoh merupakan orang yang sering ragu dengan perasaannya. Pembuktiannya ada pada kutipan berikut.

Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.(p.30)

Kutipan di atas adalah menceritakan tokoh yang kebingungan karena air kran untuk cuci tangan keruh. Karena sebelumnya tokoh pernah memanggil tukan keran, dan si tukang berkata bahwa airnya baik-baik saja. Akhirnya penglihatannya bahwa air kran benar-benar kotor tidak ia percayai lagi.

4.      Analisis Cerpen
a.      Tema
Aminuddin dalam Scharbach(2000:91) tema berasal dari bahas latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperannan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang dicitakannya.
Kesimpulannya tema adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah/pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya, Pada cerpen Orang Yang Selalu Cuci Tangan tema yang tekandung adalah seorang bos/atasan ia yang selalu membersihkan kehormatannya dari hal kotor. Gaambaran elite polotik.
Hal diatas dapat dilihat dari isi cerpen tersebut “Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agara selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan itulah ia selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya”. (p. 11)
b.      Latar/setting
Aminudin(2000:67), Latar (setting) adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu, maupun pristiwa. Kesimpilannya latar/seting adalah merupakan tempat, waktu, dan suasana teijadinya perbuatan tokoh atau peristiwa yang dialami tokoh.
1.      Tempat
v  Kantor
“Semua orang di kantornya sudah tahu,ia selalu memcuci tangannya”.terdapat pada paragraf 1.
v  Wastafel
“Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan”.
2.      Waktu
v  Siang hari
“Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel….” Hal ini dikatakan siang hari karena ia yang selalu mencuci tangan setiap tangannya kotor, berdebu, atau sekli pun sebenarnya tidak kotor, ia yang selalu mencuci tangan di wasteful di ruangan kantor.
3.      Suasana
v  Menyedihkan
“Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.” Di depan wastafel ia mencuci tangan, pada saat mengangkat muka, ia melihat wajahnya sendiri. “Wajah itulah,” pikirnya, “wajah itulah!”
Pada suasana ini dikatakan menyedihka karena ia yang menajdi bahan gunjingan orang-orang dikantornya yang melihat ia sedaang mencuci tangan. Disitu ia merasa sedih karena ia selalu di gunjingi orang-orang yang melihat perbuatannya.




v  Menegangkan
“Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, “mana boleh jadi?” Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor”.
“Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak”.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..
“Sebelum keluar ruangan, ia menatap wajahnya pada cermin dan ia melihat wajahnya itu bersimbah darah. Ia merasa tahu benar, perasaannya sajalah yang membuat ia melihat wajahnya penuh dengan darah”.
Menegangkan disini karena setelah ia memcuci dan membasuh wajahnya, yang di lihatnya ketika berecermin wajahnya bersimbah darah.
v  Menyenangkan
“Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih”.
Ia dengan perecaya diri dan merasa senang bahwa yang di lihatnya hanyalah perasaannya saja.









c.       Alur
Aminudin (2000:83) alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita.
Kesimpulannya Alur merupakan pola pengembangan cerita yang terbentuk oleh hubungan sebab-akibat. Intisari alur ada pada permasalahan cerita. akan tetapi, suatu permasalahan dalam novel tak bisa dipaparkan begitu saja; jadi harus ada dasarnya. Oleh karena itu, alur terdiri atas (1) Saling mengenal , (2) munculnya pertikaian, (3) Tahap klimaks, (4)Tahap Peleraian , dan (5) menyelesaikan konflik atau masalah.
Alur cerita dalam cerpen ini adalah alur maju. Yaitu alur yang peristiwanya berurutan mulai dari cerita awal hingga akhir.
1.      Tahap pengenalan
Pada cerepen ini tidak terdapat tahap penegenalan karena disini pada cerpen Orrang Yang Selalu cuci Tangan ini tokohnya tunggal. Jadi tidak ada tahap penegnalan yang terjadi
2.      Munculnya Pertikaian
Demikianlah orang-orang di kantornya bergunjing tentang atasannya tersebut, yang selalu mereka lihat sedang mencuci tangan di wastafel ketika mereka memasuki ruangannya.
Pada suatu hari, ketika ia mencuci tangan di wastafel, air yang mengucur dari kran dalam pandangan matanya agak kecoklat-coklatan.
“Ah, kenapa airnya kotor sekali?”
Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
3.      Tahap klimaks
Air kran yang mengucur di wastafel itu semakin lama semakin bertambah kotor. Semula memang hanya kecoklat-coklatan, tetapi akhirnya menjadi kehitam-hitaman, bahkan kemudian juga berlumpur dan berbau busuk agak kekuning-kuningan, yang ketika airnya mengucur memperdengarkan suara seperti orang berdahak.
Grrrrhhhhhuuekkkhhhh……..


Rasanya ia mau muntah, tetapi tidak ada yang keluar dari perutnya. Ia berjuang keras meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang terlihat, terdengar, dan terbaui olehnya itu, sebetulnya hanyalah sesuatu yang hanya dirasakannya sahaja.
4.      Tahap peleraian
Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
5.      Penyelesaian masalah/konflik
Begitulah, ia pun keluar ruangan dengan perasaan betapa tangan, wajah, dan bahkan jiwanya telah menjadi sangat bersih, begitu bersih, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih bersih.

d.      Tokoh Dan Penokohan
Aminudin (2000:79) peristiwa dalam karya fiksi seperti dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita yang disebut dengan tokoh. Sedangkan cara pengarang nemapilkna tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan.
Kesimpulan tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi/cerpen. Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.
1.      Ia
Ia adalah orang yang selalu cuci tangan ini adalah sosok elit politik. Sering muncul di koran dan televisi serta suka “jaim (jaga image)” dengan aneka ragam pencitraannya. Sangat takut jika dinilai “jelek” oleh masyarakat.
2.      Orang-orang dikantornya/karyawan
Orang-orang di kantornya yang suka bergunjing tentang tokoh ia, dan selalu ingin tahu apa yang sedang dilakukan si ia pada tokoh tersebut.




3.      Para tukang
Disini para tukang yang berbaik hati mau menolong untuk mememriksa air untuk memcuci tanngannya itu, megeluarkan darah dan berbau busuk. Dan terenyata para tukang tersebut menyadarkan ia yang di dalam tokoh, bahwa yang dilihatnya itu hanya lah perasanya saja. Dan sebenarnya yang keluar adalah air biasa.

e.       Sudut Pandang
Aminuddin (2000:90) sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Kesimpulannya sudut pandang adalah posisi pengarang atau narator dalam membawakan cerita tersebut.
Sudut pandang yang digunakan pengarang adalah sudut pandang orang kedua .hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana cara pengisahannya yang menggunakan kata Iadalam cerpen tersebut.

f.       Gaya Bahasa
Aminudin (2000:72) gaya bahasa diangkat dari istilah style  yang berasal dari bahsa latin stilus dan mengandung arti leksikal ‘ alat untuk menulis’  dalam karya sastra istilah gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.  
kesimpulannya Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis/pemakai bahasa.
Gaya bahasa yng digunakan Dalam cerpen “Orang yang Selalu Cuci Tangan” dikisahkan orang yang selalu mencuci tangannya melebihi kebiasaan secara umum. Kalimat “cuci tangan” sendiri adalah istilah yang sering dipergunakan untuk orang yang menghindar dari tanggung jawab. Dalam cerpen itu dituliskan alasan seringnya cuci tangan :
Wajah yang selalu muncul di koran dan televisi, wajah yang selalu dijaganya agar selalu tampak terhormat, amat sangat terhormat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih terhormat. Demi kehormatan wajah itulah ia telah selalu mencuci tangannya, karena dalam pikirannya, tangan yang kotor akan mempengaruhi pandangan orang banyak terhadap wajahnya.
Hebatnya lagi, ketika kesalahan mereka terungkap dan dikenai sanksi – mereka tidak mau mengakui. Aparat penegak hukum diserang sebagai tidak adil dan memiliki motif tersembunyi. Media massa ikut dilabrak sudah tidak independen lagi. Pokoknya semua yang mengungkapkan borok mereka dianggap sebagai kelompok yang anti. Mirip dengan nasib “air” dalam cerpen ini.
”Ah, kenapa airnya kotor sekali?” Untuk seorang manusia yang selalu mencuci tangan, air kran yang kotor adalah masalah besar.
”Mencuci tangan kok jadi tambah kotor,” pikirnya, ”mana boleh jadi?”
 Segeralah para tukang dipanggil untuk memeriksa, apakah kiranya yang membuat air pencuci tangan yang seharusnya membuat tangan menjadi bersih kini justru membuat tangan semakin kotor.
Namun ketika dikucurkan, ternyata air kran itu baik-baik saja adanya. ”Airnya tidak apa-apa Pak,” ujar para tukang.
Wajah itulah!” pikirnya, wajah yang katanya selalu muncul di media massa, yang selalu dijaga kehormatannya, sehingga tampak terhormat. Gambaran mengenai wajah dalam cerita ini tentu saja bisa berarti sebenarnya, maupun tidak sebenarnya. Maksudnya, wajah adalah sebuah citra mengenai diri seseorang. Wajah adalah yang, mau tak mau, pertama dilihat oleh orang lain dalam menilai diri kita. Meski wajah bukanlah satu-satunya indikator penilaian terhadap seseorang. Suatu wajah yang bagus akan memberi kesan yang baik pada seluruh orang yang melihatnya. Wajah yang teduh, damai, terhormat, yang akan menimbulkan kesan baik. Dan memang benar, wajah haruslah dijaga.








g.      Amanat
adalah pesan/kesan yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, pendidikan, dan sesuatu yang bermakna dalam hidup yang memberikan penghiburan, kepuasan dan kekayaan batin kita terhadap hidup. Amanat yang terdapat antara lain yaitu :
orang yang selalu cuci tangan ini adalah sosok ini sangat mirip dengan sosok elit politik yang mengalami disorientasi. Karena seringnya melakukan hal yang kotor, seperti korupsi – lama kelamaan tidak mampu lagi menilai mana yang benar dan mana yang salah. Suara batin mereka sudah dikalahkan oleh ketamakan. Yang paling parah, selalu mencari alasan pembenar untuk tindakan mereka. Kadang menampilkan sosok religius sebagai kamuflase. Hal ini memberikan amanat bahwa orang yang tidak bertanggung jawab, korupsi dan selalu berpura-pura agar tidak tahu apa yang terjadi, malah menjadi bahan gunjingan orang-orang. Jadilah sosok pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab.



















BAB III
C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan Dan Saran
Cerpen Orang yang Selalu Cuci Tangan karya Seno Aji Gumirang adalah cerpen yang maknanya tersembunyi dalam tanda-tanda. Cerpen ini menceritakan seorang bos yang melakukan pekerjaan kotor, namun ia terus menjaga nama baiknya, tetapi juga dengan cara yang kotor. Sampai rasa berasalah akhirnya menghantui tokoh dan membuat semua orang tahu bahwa si bos melakukan pekerjaan kotor.
Dalam cerpen “Orang yang Selalu Cuci Tangan” dikisahkan orang yang selalu mencuci tangannya melebihi kebiasaan secara umum. Kalimat “cuci tangan” sendiri adalah istilah yang sering dipergunakan untuk orang yang menghindar dari tanggung jawab.
Bisa ditarik kesimpulan jika orang yang selalu cuci tangan ini adalah sosok elit politik. Sering muncul di koran dan televisi serta suka “jaim (jaga image)” dengan aneka ragam pencitraannya. Sangat takut jika dinilai “jelek” oleh masyarakat.
Sosok ini sangat mirip dengan sosok elit politik yang mengalami disorientasi. Karena seringnya melakukan hal yang kotor, seperti korupsi – lama kelamaan tidak mampu lagi menilai mana yang benar dan mana yang salah. Suara batin mereka sudah dikalahkan oleh ketamakan. Yang paling parah, selalu mencari alasan pembenar untuk tindakan mereka. Kadang menampilkan sosok religius sebagai kamuflase.
Hebatnya lagi, ketika kesalahan mereka terungkap dan dikenai sanksi – mereka tidak mau mengakui. Aparat penegak hukum diserang sebagai tidak adil dan memiliki motif tersembunyi. Media massa ikut dilabrak sudah tidak independen lagi. Pokoknya semua yang mengungkapkan borok mereka dianggap sebagai kelompok yang anti.
Cerpen ini memiliki alur yang mudah diikuti dan runtut, sehingga tidak menyulitkan ketika mengkaji unsur instrinsik pada akhir cerpen juga ada sesuatu yang mengganjal dengan endingnya, namun sepertinya cerpen memang di desain seperti ini, agar pembaca dapat menebak endingnya.
Sekarang, apakah kita dapat membedakan bahwa posisi kita dalam kehidupan ini adalah benar, ataukah salah? Sedangkan kebenaran adalah absolut, namun perspektif mengenai kebenaran itu sendiri adalah abstrak.
Kemudian, di dalam cerpen tersebut disebutkan bahwa ia ingin percaya betapa tangannya itu sendiri sebetulnya adalah tangan yang bersih, meskipun ia selalu melihat atau merasa tangannya betul-betul kotor, sangat kotor. Sementara, ia masih saja terus melakukan pekerjaan kotor.
Ada kalanya, di dalam hidup ini manusia ingin percaya bahwa yang telah diperbuatnya adalah perbuatan yang terbaik bagi dirinya. “Ini adalah yang terbaik”, begitu kata hati tiap orang ketika menyelesaikan suatu perbuatan yang hasilnya entah itu baik atau buruk, demikian kata hati. Meskipun pada kenyataannya di luar pandangan kita, kita tak pernah tahu bahwa itu memang baik atau buruk. Begitu mengerikannya dunia ini jika manusia-manusianya sudah tak dapat lagi membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dalam ajaran agama, tentu ada sebuah doa yang sering dipanjatkan agar seorang manusia yang berdoa itu dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kurang lebih seperti ini: “Ya Tuhan, sahaya bermohon tunjukkan lah pada sahaya bahwa suatu perbuatan baik itu baik, dan berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya. Serta tunjukkanlah pada sahaya bahwa suatu perbuatan buruk itu buruk, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya”.
Ketika kita telah benar-benar dapat membedakan yang baik dan yang buruk secara fakta, bukan berlandaskan sentimentalisme belakang, maka saat itulah pencapaian seorang manusia telah mencapai setengahnya. Setengah yang lain kemana? Tentu dengan cara melaksanakan yang baik, dan meninggalkan yang buruk, bukan hanya membedakan keduanya.
Dan kembali pada cerpen, pada akhirnya ia memang menjadi sedikit gila karena sudah tak dapat membedakan yang baik dan buruk. Itu lah manusia yang benar-benar merugi. Ia hanya ingin selalu percaya bahwa tangannya selalu bersih, bahwa yang diperbuatnya memang bersih, sehingga tak menyadari betapa dirinya sebenarnya sedang dalam keadaan tangan kotor. Sampai air kran yang sangat kotor ia anggap sebagai air yang bersih dan digunakannya untuk mencuci tangan. Bahkan ketika ia tetap melaksanakan pekerjaan kotor yang kali itu berkaitan dengan darah seseorang, sehingga air yang mengucur dari kran berupa darah merah, ia tetap ingin percaya bahwa yang mengucur adalah air bersih, dan digunakannya pula untuk mencuci tangan, bahkan wajah, tempat segala kehormatannya selama ini dipertahankan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Keraf, gorys. 2004. Diksi dan gaya bahasa. Jakarta. Penerbit : pt gramedia pustaka utama.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, Willem G.W. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
Gramedia Pustaka Umum.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar